Beranda Dinamika Gerakan

Menyuarakan yang “Masih Bisu” di Mamuju (1)

591
BERBAGI
Seorang Ibu di Kelurahan Bebanga, menunjukkan buah Lamtoro yang daunnya sama persis dengan Kaliandra.
Lely Zailani, Ketua DPN HAPSARI
Lely Zailani, Ketua DPN HAPSARI

Oleh : Lely Zailani

Catatan hasil kunjungan lapangan bersama Serikat Perempuan Mamuju (SPM) melakukan Analisa Sosial dan Gender di kecamatan Kalukku, Mamuju, Sulawesi Barat.

Masyarakat yang tidak homogen dengan latar belakang sosio-ekonomi yang berbeda, jenis kelamin yang berbeda (perempuan dan laki-laki) memiliki hak, peran, pengalaman, masalah dan kebutuhan yang berbeda yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Minat dan partisipasi perempuan dalam pembangunan di lingkungannya (desa dan kawasan perdesaan) termasuk penataan kawasan hutan masih perlu ditingkatkan untuk mendukung efektifitas dan keberlanjutan program.

Gender bukanlah jenis kelamin biologogis (sex), melainkan hubungan peran, tanggung jawab dan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dibangun secara sosial budaya, dan dengan demikian mendapat dukungan dari masyarakat itu sendiri (perempuan dan laki). Gender adalah jenis kelamin social yang dalam banyak aspek, membentuk ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, serta kesenjangan dalam menikmati manfaat pembangunan.

Ketidak Adilan dan Ketidak Setaraan Gender masih Kuat

Beragam bentuk ketidakadilan gender yang dihadapi oleh perempuan dan kelompok marjinal lainnya telah menyebabkan mereka memiliki posisi rentan. Kondisi timpang yang dialami oleh perempuan karena tidak dapat ikut (berpartisipasi) dalam memperoleh akses, melakukan kontrol dan menikmati manfaat pembangunan yang disebabkan karena situasi gendernya, masih sangat kuat diseluruh wilayah (desa) target proyek ini.

Diskusi dengan warga Desa Pamullukkan
Diskusi dengan warga Desa Pamullukkan

Adanya perbedaan wilayah kerja, (domestic untuk perempuan dan public untuk laki-laki) sekaligus pembagian jenis-jenis pekerjaan (menanam dan merawat untuk perempuan, memanen dan menjual oleh laki-laki) memberi ruang bagi kuatnya dominasi laki-laki atas perempuan.

Ini adalah proses memenjarakan dan meminggirkan perempuan dari peran publik atau social yang merupakan ciri khas dan cara kerja system patriarkhi (Fakih 1997 : 85). Inilah akar penyebab ketidakadilan gender yang berasal dari ideologi patriarki yang terus-menerus diwariskan hingga saat ini. Seks yang bersifat alamiah lalu menjadi gender yang bersifat kultural (Wieringa : 1999) dan berdampak pada subordinasi dan marginalisasi perempuan.

Dampak lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender ini adalah beban ganda yang harus dilakukan perempuan, tetapi dianggap wajar (memenang begitulah seharusnya). Melalui sebuah simulasi membuat “Alokasi Waktu Kerja” untuk perempuan dan laki-laki dalam sehari (pada salah satu kelompok yang dikunjungi) ditemukan kesimpulan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga dengan jumlah jam kerja yang lebih panjang dan lebih sedikit beristirahat disbanding laki-laki. Selain bekerja di kebun, perempuan juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi tidak demikian dengan laki-laki.

Oleh karena itu diperlukan adanya strategi untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi proyek yang akan diimplementasikan.

Setara Mengelola, Timpang di Kontrol

Dalam pengelolaan sumberdaya alam dan asset yang tersedia, perempuan dan laki-laki berada pada posisi setara. Mereka sama-sama memiliki akses untuk berkontribusi menjaga asset yang dimiliki (menaman, merawat dan memanen) hasil kebun yang mereka tanam.

Jenis pekerjaan yang dibedakan antara peremuan dan laki-laki dengan upah lebih rendah untuk perempuan
Jenis pekerjaan yang dibedakan antara peremuan dan laki-laki dengan upah lebih rendah untuk perempuan

Tetapi kesetaraan akses tersebut tidak diikuti dengan control perempuan atas sumberdaya dan asset (lahan/tanah, hutan, kebun, ternak) yang dimiliki tersebut. Perempuan diposisikan hanya sebagai “tenaga pembantu” untuk peran-peran domestic (kerja perawatan) sedang pada proses penjualan hasil, selalu ditentukan dan diurus oleh laki-laki sebagai kepala keluarga.

Mayoritas perempuan (istri, apalagi para gadis) tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan terutama yang bersifat strategis, atas hasil pengelolaan asset dan sumberdaya yang mereka miliki, misalnya; akan ditanami apa lahan/kebun yang mereka punya? Keputusan menanami seluruh hamparan kebun yang mereka miliki dengan tanaman kakao misalnya, (sehingga memusnahkan beberapa jenis tanaman obat yang dibutuhkan peremuan), adalah keputusan kepala keluarga dan perempuan hanya pada posisi menyetujui.

Terkait dengan kepemilikan atas lahan, hampir tidak ditemukan perempuan (istri) sebagai pihak memegang hak. Surat pengakuan kepemilikan hak atas lahan/kebun selalu atas nama suami. Ini terjadi karena dalam setiap keluarga, laki-laki (suami) adalah Kepala Keluarga.

Inilah dampak dari masih kuatnya kesadaran social yang bias gender dalam masyarakat dan keluarga sebagai unit terkecil. Gender sebagai persfektif untuk membagi akses dan control terhadap sumberdaya, dari internalisasi idiologi patriarki yang masih mengakar kuat di semua lokasi target proyek ini, dalam lingkungan keluarga yang menganut sistem patrilineal, dimana laki-laki menjadi tokoh penting dan dominan baik kekuasaan maupun dalam aksesnya terhadap aset-aset ekonomi, seperti kebun dan ternak.

Seorang Ibu di Kelurahan Bebanga, menunjukkan buah Lamtoro yang daunnya sama persis dengan Kaliandra.
Seorang Ibu di Kelurahan Bebanga, menunjukkan buah Lamtoro yang daunnya sama persis dengan Kaliandra.

Padahal, mengabaikan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan memprioritaskan mereka untuk menggunakan berbagai sumberdaya yang ada akan mengakibatkan pengelolaan sumberdaya alam menjadi tidak efektif, karena menyebabkan perempuan tidak dapat berkontribusi aktif, hanya pengelola pasif.

Oleh karena itu, diperlukan adanya komunitas khusus perempuan sebagai penerima manfaat langsung proyek ini, yang diorganisir dan diberikan perluasan pengetahuan untuk penguatan kapasitas untuk membangun kekuatan kolektif dan aksi-aksi kolektif di komunitasnya. Ini menjadi peran strategis HAPSARI dan Serikat Perempuan Mamuju yang merupakan anggota konsorsium.***

Komentar Via Facebook

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here