Beranda Referensi

Memahami Pemikiran Alexandra Kollontai (5)

662
BERBAGI

Alexandra Kollontai 1909

Basis Sosial Persoalan Perempuan (The Social Basis of the Woman Question)[1]

Sumber :

Abstrak dari Beberapa Tulisan Alexandra Kollontai (Selected Writings of Alexandra Kollontai),  Allison & Busby, 1977.
Pertama kali diterbitkan tahun 1909 sebagai Pamphlet, diterjemahkan dan disunting oleh Alix Holt. Transkrip :  Andy Blunden untuk marxists.org, disetujui dan dikoreksi oleh Chris Clayton 2006.
***

Biarkan saja para cendekia borjuis untuk menyerap dirinya dalam diskusi tentang pertanyaan superioritas satu jenis kelamin atas jenis kelamin lainnya, atau dalam menimbang berat otak dan membandingkan struktur psikologi laki-laki dan perempuan,  para pengikut dari materialisme sejarah (historical materialism) sepenuhnya menerima kekhasan alami dari masing-masing jenis kelamin dan menuntut hanya masing-masig individu, apakah perempuan atau laki-laki, memiliki kesempatan untuk secara merdeka menentukan nasibnya sendiri, dan ruang lingkup terluas untuk pembangunan dan aplikasi dari semua kecenderungan alami. Pendukung materialisme sejarah menolak keberadaan dari keberadaan tentang pertanyaan perempuan khusu terpisah dari pertanyaan sosial umum dari hari-hari kita. Faktor-faktor ekonomi spesifik di belakang  subordinasi perempuan; kualitas natural yang telah menjadi  faktor sekunder  dalam  proses ini.

Perjuangan untuk Kemerdekaan Ekonomi

Pertama-tama kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah gerakan perempuan yang bersatu mungkin dilaksanakan dalam masyarakat yang didasarkan pada kontradiksi-kontradiksi kelas. Fakta bahwa perempuan turut ambil bagian dalam gerakan pembebasan dan tidak mewakili satu kelompok massa yang homogen adalah jelas, menurut sejumlah pengamat yang objektif.

Kehidupan kaum perempuan, seperti juga laki-laki, terbagi atas dua kelompok: kelompok yang kepentingan dan aspirasinya merasa lebih terwakili oleh kelas borjuis dan kelompok yang memiliki hubungan lebih dekat dengan kelas proletar dimana tuntutan kemerdekaannya mampu menjawab seluruh pertayaan kaum perempuan. Walaupun kedua kelompok sama-sama berslogan “kemerdekaan perempuan”, namun tujuan dan kepentingan mereka berbeda. Masing-masing kelompok secara tak sadar cenderung mendasarkan perjuangan mereka pada kepentingan kelasnya, sehingga memberikan nuansa kelas yang jelas pada tujuan dan kerja mereka.

Tak peduli seradikal apapun tuntutan dan perjuangan kaum feminis, kita tidak boleh lengah bahwa mereka, berdasarkan status kelasnya, tidak dapat memperjuangkan transformasi fundamental atas keadaan ekonomi dan tatanan sosial, dimana tanpa transformasi tersebut keberhasilan kemerdekaan perempuan tidak lengkap.

Jika pada beberapa kesempatan kerangka kerja jangka pendek masing-masing kelompok terjadi bersamaan, namun tujuan akhir mereka-yang dalam jangka panjang menentukan arah pergerakan dan taktik perjuangan perempuan yang digunakan-sangatlah berbeda. Kesetaraan hak antara perempuan dengan laki-laki dalam kerangka kapitalis kontemporer bagi kelompok feminis sudah dianggap tercapai apabila perjuangan selesai, sedangkan kesetaraan hak yang tercapai saat ini bagi kelompok proletar hanya merupakan salah cara meningkatkan usaha perjuangan melawan perbudakan ekonomi. Kelompok feminis melihat laki-laki sebagai musuh utamanya, karena laki-laki secara tidak adil menentukan hak istimewa untuk dirinya sendiri, yakni menyia-nyiakan perempuan.

Buku The Social Basis of the Women’s Question karya Alexandra Kollontai tahun 1909 hanyalah rantai dan kewajiban. Bagi kelompok feminis, kemenangan baru tercapai apabila hak prerogatif yang dulu hanya dinikmati eksklusif oleh laki-laki kini diijinkan untuk ‘semua jenis sex’. Kelompok perempuan proletar bersikap beda. Mereka tidak melihat laki-laki sebagai musuh maupun penindas, tetapi justru melihat laki-laki sebagai pemimpin mereka, yang senasib merasakan pahitnya kehidupan dan bersama-sama berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Kaum perempuan dan pemimpin laki-lakinya tertindas oleh kondisi sosial yang sama, yakni rantai kapitalisme yang menekan keinginan dan mencabut kebahagiaan hidup mereka. Adalah benar bahwa pada beberapa aspek tertentu sistem pada jaman itu memberatkan kaum perempuan, dan juga merupakan kenyataan bahwa buruh yang diperkerjakan terkadang memposisikan perempuan dan laki-laki sebagai rival. Namun pada beberapa situasi yang tidak menyenangkan di bawah ini, kelas pekerja mengetahui siapa yang bersalah atas keadaan tersebut…

Perempuan pekerja, yang tak kalah miskinnya dengan laki-laki pekerja, benci akan monster yang tak pernah puas akan kekayaannya, yang hanya peduli untuk menghisap habis sari-sari korbannya, hidup dari penderitaan jutaan umat manusia, dan bersikap rakus tak pandang bulu pada laki-laki, perempuan maupun anak-anak.  Ribuan rentetan kejadian menyakitkan telah menyatukan laki-laki pekerja atas rasa senasib sepenanggungan. Sementara itu, aspirasi kelompok perempuan borjuis terlihat aneh dan sulit dipahami. Gagasan mereka tidak mengena di hati kelompok proletar; mereka tidak menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi perempuan proletar.

Tujuan akhir perempuan proletar tentu saja tidak menghalangi keinginan untuk meningkatkan status mereka, meskipun terjadi dalam kerangka sistem borjuis yang sedang berlaku pada saat itu. Namun usaha untuk merealisasikan keinginan ini seringkali terkalahkan oleh berbagai rintangan yang semuanya bersumber dari kapitalisme. Perempuan baru bisa memiliki kesetaraan hak dan benar-benar medeka apabila tercipta dunia yang harmonis dan adil bagi buruh sosial.

Kelompok feminis agaknya tidak mau dan tidak dapat memahami hal tersebut; bagi mereka ketika kesetaraan hak diakui secara formal dan sah oleh hukum, ketika itu pula lah mereka dapat memenangkan posisi aman dalam sistem dunia yang penuh dengan penindasan, perbudakan dan rasa senasib sepenanggungan atas kepahitan hidup. Hal ini mungkin ada benarnya sampai pada tahap tertentu. Bagi mayoritas kelompok perempuan proletar, kesetaraan hak antara perempuan dengan laki-laki berarti kesetaraan bagian dalam ketidaksetaraan, dimana bagi “beberapa orang terpilih“, yakni perempuan borjuis, kesetaraan hak benar-benar mampu membuka pintu menuju kesetaraan hak yang baru dan lebih tinggi, yang hingga saat itu hanya bisa dinikmati oleh laki-laki dari kelas borjuis saja. Setiap kesepakatan yang berhasil digolkan perempuan borjuis memang mampu mempertebal persenjataan bagi adik-adik perempuan mereka kelak, namun secara bersamaan semakin mempertajam perbedaan antara kedua kelompok sosial kaum perempuan tersebut. Kepentingan-kepentingan perempuan borjuis bersifat lebih tajam dalam konflik dimana aspirasi mereka bersifat kontradiktif.

Lalu, dimanakah “women’s question“(persoalan perempuan) secara umum itu? Dimanakah persatuan tanggungjawab dan aspirasi yang selalu digembar-gemborkan kelompok feminis? Pandangan waras terhadap kenyataan memperlihatkan bahwa persatuan macam itu tidak dan tak bisa terwujud. Dengan sekuat tenaga kelompok feminis berusaha meyakinkan diri mereka sendiri bahwa “women’s question” tidak ada hubungannya dengan partai politik dan bahwa “solusi yang ditawarkan women’s question hanya dapat terwujud dengan partisipasi dari seluruh partai dan seluruh kaum perempuan”. Seperti salah satu feminis perempuan radikal asal Jerman pernah berkata bahwa logika kenyataan memaksa kita untuk menolak delusi nyaman gagasan feminis…

Sepanjang jaman, kondisi dan format kebijakan ekonomi Rusia telah menaklukan perempuan, dan perlahan-lahan merendahkan posisi mereka hingga tertindas dan sangat tergantung dimana keadaan tersebut masih terjadi hingga saat ini. Perubahan besar-besaran di seluruh struktur sosial dan ekonomi sangat diperlukan agar perempuan dapat mendapatkan kembali posisi berarti dan kemerdekaan yang hilang bagi kaumnya. Kesulitan-kesulitan yang dulu seakan terlalu sulit untuk dipecahkan pemikir terhebat sekalipun, kini mampu diatasi oleh format kebijakan yang sangat kuat berkuasa. Kekuatan tersebut yang selama ribuan tahun telah memperbudak kaum perempuan, kini dengan peningkatan lebih jauh mampu memimpin perempuan menuju jalan kebebasan dan kemerdekaan.

“Persoalan Perempuan” oleh perempuan borjuis baru menyadari akan pentingnya perempuan kira-kira pada pertengahan abad ke-19 – jauh lebih lama setelah perempuan proletar tiba di arena perburuhan. Dibawah dampak suksesnya kapitalisme, warga kelas menengah tiba-tiba terseret arus ‘butuh’. Perubahahan ekonomi telah memutarbalikkan keadaan ekonomi kelas menengah borjuis menjadi tidak stabil, dimana perempuan borjuis dihadapkan pada ancaman dilema: antara menerima kemiskinan atau memenangkan hak untuk bekerja. Para istri dan anak perempuan kalangan borjuis kemudian mulai memasuki universitas, sanggar-sanggar seni, rumah editorial dan perkantoran, membanjiri setiap profesi yang memungkinkan bagi mereka. Hasrat para perempuan borjuis untuk menimba sukses di bidang ilmu pengetahuan dan pencapaian lebih tinggi dalam kebudayaan bukan merupakan keinginan yang tiba-tiba meledak, tetapi berakar dari kebutuhan dasar manusia yakni “makan sehari-hari”.

Dari awal mula perjuangannya, perempuan borjuis menerima perlawanan keras dari laki-laki. Maka terjadilah perang tak berujung antara lelaki pekerja profesional, yang enggan meninggalkan pekerjaan mereka yang nyaman, dengan perempuan yang masih ‘hijau’ dalam urusan menghasilkan penghidupan bagi dirinya. Perjuangan ini semakin menguatkan “feminisme”, yakni usaha perempuan borjuis untuk berdiri bersama dan dengan keterpaduan kekuatan bersama-sama melawan musuh utama mereka, melawan dominasi laki-laki. Dengan keberhasilan mereka memasuki arena ketenagakerjaan, perempuan borjuis pun kemudian menjuluki diri mereka sebagai “pelopor perjuangan pergerakan perempuan”. Mereka lupa bahwa dalam usaha kemerdekaan ekonomi ini, seperti halnya pada perjuangan di aspek-aspek lain, perjuangan keras mereka tidak dihargai oleh adik-adik perempuannya.

Lantas, apakah masih logis untuk mengakui perempuan borjuis sebagai pionir yang membuka jalan untuk kesetaraan kesempatan kerja perempuan, ketika hampir di setiap negara ratusan ribu perempuan proletar membanjiri pabrik-pabrik dan satu persatu mengambil alih cabang industri, jauh sebelum pergerakan perempuan borjuis dilahirkan? Hanya pengakuan dari komunitas perdagangan dunia atas keberadaan serikat perempuan pekerja lah yang masih menyelamatkan posisi berdikari perempuan borjuis di kalangan masyarakat, dimana kenyataan tersebut sangat dibanggakan oleh kalangan feminis.

Bukti nyata kontribusi gerakan feminis untuk membantu perjuangan perempuan proletar dalam usaha mereka memperbaiki kondisi material sulit ditemukan. Seluruh pencapaian perempuan proletar di setiap aspek untuk memperjuangangkan kualitas hidup merupakan hasil usaha kalangan kelas pekerja secara umun maupun kalangan wanita pekerja semata. Buku hasil karya Alexandra Kollontai “The Social Basis of the Working Woman Question” atau “Basis Sosial Persoalan Perempuan Pekerja” tahun 1909 yang mengangkat kisah perjuangan perempuan pekerja demi kelayakan kondisi buruh dan kehidupan yang lebih baik, merupakan sejarah yang berbicara tentang perjuangan kemerdekaan kaum proletar.

Apa yang membuat pemilik pabrik menaikkan upah buruh, mengurangi jam kerja, dan menawarkan kondisi kerja lebih baik, jika buka karena ketakutan atas ledakan amarah pekerja yang tidak puas? Hal apa yang menggelitik pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang membatasi eksploitasi upah buruh, jika bukan karena ketakutan atas “pergolakan buruh”?

Tak ada satu pun partai di dunia yang berani membela hak-hak perempuan selain partai sosial demokrat. Perempuan pekerja dianggap sebagai anggota pertama dan terpenting dalam kelas pekerja, sehingga semakin terpuaskannya posisi dan kesejahteraan hidup masing-masing anggota keluarga kelas proletar, akan semakin menguntungkan bagi keberadaan seluruh kelas pekerja secara umum untuk jangka waktu yang panjang.

Menghadapi keadaan sosial yang semakin sulit, para pejuang kemerdekaan perempuan terpaksa menghentikan usahanya dengan berlinangan air mata. Mereka menyaksikan betapa kecilnya kontribusi gerakan perempuan secara keseluruhan dalam membantu perempuan proletar dan betapa tidak mampunya mereka memperbaiki kondisi kerja dan hidup kelas pekerja. Masa depan umat manusia dianggap kelabu, menjemukan, dan tidak pasti bagi perempuan yang berjuang untuk kesetaraan, namun gagal mengadopsi pandangan kelas proletar terhadap dunia dan tidak memiliki keyakinan kuat atas masa depan kondisi sistem sosial yang lebih sempurna.

Karena sistem dunia kapitalis masa kini tidak mengalami perubahan, kemerdekaan dianggap tidak lengkap oleh mereka. Perempuan-perempuan pemikir yang sensitif ini pastilah merasa sengsara. Dalam kondisi dunia dimana hubungan sosial semakin menggeliat, hanya perempuan kelas pekerja yang mampu mempertahankan moral dan mentalnya. Dengan hati-hati namun mantap, secara bertahap mereka melangkahkan kaki menuju sasaran akhir, menaikkan derajat sosial perempuan pekerja. Dengan gagah berani perempuan proletar membuka jalan yang berduri bagi kemerdekaan buruh. Kaki mereka lunglai, badan mereka tercabik. Sepanjang jalan perjuangan, mereka menghadapi tebing yang curam dan acap kali menjadi mangsa empuk kekejaman.

Namun itulah satu-satunya jalan yang harus dilalui perempuan untuk mencapai tujuan mereka yang sulit dicapai tapi menggiurkan, yakni kemerdekaan nyata bagi perempuan di dunia baru perburuhan. Sepanjang jalan perjuangan yang sulit menuju masa depan cerah, perempuan proletar yang hingga selama ini dipermalukan, diperbudak dan ditindas hak-haknya, kini selangkah demi selangkah mentransformasikan dirinya menjadi seseorang dengan mental kerja dan pribadi mandiri, merdeka dalam cinta. Adalah mereka, yang berjuang meningkatkan derajat dan martabat kaum proletar, yang berhasil memerdekakan hak kerja perempuan; adalah mereka, “adik-adik kelas perempuan“, yang mempersiapkan dasar bagi perjuangan “kemerdekaan“ dan “kesetaraan“ umat perempuan di masa depan.

Lantas, apakah masih ada alasan yang bisa membuat perempuan pekerja bersedia bersatu dengan feminis borjuis? Siapakah yang dalam kenyataannya akan menimba keuntungan dari aliansi tersebut? Jawabannya sudah pasti bukan perempuan pekerja, karena mereka mampu berjuang sendiri dan masa depan ada di tangan mereka sendiri. Perempuan pekerja berani mempertahankan kepentingan  kelasnya dan tidak mudah tertipu oleh gagasan mengenai “dunia bagi seluruh perempuan“. Perempuan pekerja tidak boleh lupa akan tujuan perjuangan mereka. Dimana perempuan borjuis bertujuan untuk mengamankan kesejahteraan kelas mereka sendiri, tujuan perempuan pekerja adalah untuk menciptakan kondisi dunia yang mampu menjanjikan masa depan cerah bagi pekerja secara universal, solidaritas pemimpin dan kemerdekaan yang bahagia.

Pernikahan dan Masalah Rumah Tangga

Sekarang marilah kita melihat aspek lain dari persoalan perempuan (woman question), yakni persoalan keluarga. Bagi masyarakat yang peduli atas emansipasi perempuan, kesadaran akan penting dan mendesaknya persoalan rumah tangga untuk segera diatasi bukan merupakan hal baru. Perjuangan demi kesetaraan hak berpolitik, hak mendapatkan gelar akademisi, ataupun kesetaraan upah, belum mewakili keseluruhan aspek perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan hak. Untuk benar-benar merdeka, perempuan harus berhasil melepaskan diri dari cengkraman adat istiadat rumah tangga yang kuno dan bersifat menindas. Bagi seorang perempuan, keberhasilan mengatasi persoalan rumah tangga tidak kalah pentingnya dengan keberhasilan mencapai kesetaraan hak berpolitik dan kemerdekaan ekonomi.

Hampir di seluruh negara pada saat itu, struktur kerumahtanggaan yang diakui oleh adat istiadat dan hukum yang berlaku menempatkan perempuan pada posisi tertindas, tidak hanya sebagai seorang perempuan, tetapi juga sebagai ibu dan istri. Keberadaban pada saat itu memberikan sang suami hak untuk menentukan kemerdekaan, hak atas kepemilikan tanah/properti, dan hak untuk menteror moral dan fisik istrinya.

Ketika penindasan perempuan secara sah dan legal berakhir, muncul satu kekuatan baru yang disebut “opini publik”. Opini publik ini digagasi oleh kalangan borjuis, yang bertujuan untuk mempertahankan ‘institusi kelayakan yang suci’. Namun tujuan yang terlihat mulia tersebut ternyata merupakan senjata kalangan borjuis yang munafik dan bermoral ganda. Mereka menghancurkan perempuan melalui jalur ekonomi, yakni dengan mengupah rendah perempuan pekerja. Hak-hak perempuan dicabut sehingga tidak dapat menyuarakan pendapat dan membela kepentingannya sebagai warga negara; perempuan hanya diberi dua pilihan yakni hidup dalam cengkraman perkawinan atau merambah prostitusi, dimana pilihan terakhir ini secara publik dikecam dan dilarang, namun diam-diam didukung. Lantas, apakah perlu kita menyoroti sisi gelap kehidupan perkawinan kontemporer dan pahitnya pengalaman perempuan dalam struktur rumahtangga masa kini?

Sudah begitu banyak tulisan dan komentar membahas persoalan ini. Banyak wacana menampilkan  gambar tak sedap yang mengilustrasikan perangkap kehidupan perkawinan dan rumah tangga, yang menimbulkan efek buruk secara psikologis dan melumpuhkan keberdayaan perempuan. Hikmah dari persoalan ini adalah, bahwa struktur rumah tangga modern kurang lebih menindas perempuan kelas manapun serta seluruh lapisan masyarakat. Tradisi dan adat istiadat menghakimi ibu muda tanpa pandang bulu; baik perempuan borjuis, perempuan proletar maupun petani perempuan, semua hak kemerdekaan mereka ditentukan oleh sang suami.

Dengan munculnya persoalan ini, bukankah kita telah menemukan setidaknya satu hal yang mengharuskan seluruh lapisan perempuan untuk bersatu dalam memperjuangkan haknya? Tidakkah kini mereka dapat bersatu  melawan kondisi yang menindas mereka? Mungkinkah cengkraman perbedaan kelas dapat dikalahkan oleh rasa kebersamaan dalam duka dan derita, sehingga mampu menghasilkan aspirasi dan aksi yang menyatukan perempuan dari seluruh lapisan masyarakat? Apakah dengan berlandaskan persamaan harapan dan tujuan, persatupaduan antara perempuan borjuis dan perempuan proletar dimungkinkan?

Para feminis berusaha keras memperjuangkan bentuk perkawinan yang lebih memerdekakan perempuan dan memperjuangkan hak untuk melahirkan, seperti dituangkan oleh Alexandra Kollontai dalam bukunya The Social Basis of Woman Question tahun 1909, yang menyerukan pembelaan terhadap kalangan pelacur sebagai umat manusia yang tertindas. Hal ini memperlihatkan kekayaan literatur feminis dalam usahanya menggali bentuk baru hubungan sosial serta menunjukkan antusiasme memperjuangkan kesetaraan moral seluruh gender. Lantas tidakkah benar jika kita mengatakan bahwa dalam persoalan kemerdekaan ekonomi, feminis borjuis tertinggal jauh oleh jutaan pejuang perempuan proletar yang mempionir  kebangkitan perempuan, namun kehormatan dalam usaha memperjuangkan persoalan rumah tangga jatuh di tangan para feminis?

Di Rusia, perempuan dari kalangan borjuis menengah – yang berjuang untuk kemerdekaan pencari nafkah di tahun 1860-an – telah lama menyelesaikan persoalan dalam aspek-aspek rumah tangga yang membingungkan. Mereka dengan berani mengganti bentuk rumah tangga dan perkawinan yang ’terkonsolidasi’ oleh tradisi gereja dengan bentuk hubungan rumah tangga yang lebih elastis dan sesuai dengan kebutuhan lapisan sosialnya. Namun solusi subyektif yang dilakukan oleh perempuan secara perseorangan ini tidak  mampu merubah situasi dan kondisi kehidupan perkawinan perempuan secara umum yang suram. Sekeras apapun usaha masing-masing individu, tidak akan mampu menghancurkan bentuk perkawinan dan rumah tangga modern.  Diperlukan suatu kekuatan besar yang dihasilkan oleh persatuan seluruh lapisan masyarakat demi masa depan yang lebih cerah, berdasarkan kerangka fondasi baru.

Perjuangan heroik gadis muda borjuis, yang dengan gagah berani terjun ke masyarakat menuntut hak untuk dapat mencinta tanpa perintah dan tuntutan, dapat menjadi panutan bagi perempuan di seluruh dunia yang sengsara dalam jeratan kehidupan perkawinan; hal ini diwartakan oleh kalangan feminis yang berpikiran maju di luar Rusia dan juga oleh kelompok pejuang persamaan hak Rusia. Mereka beranggapan bahwa masalah perkawinan dapat teratasi dengan sendirinya oleh perubahan struktur ekonomi masyarakat, tanpa bantuan atau kejadian lain di luar itu. Perjuangan individual feminis yang gagah berani dianggap cukup, hanya perlu mengajak para perempuan untuk bersikap lebih ‘berani’ , dan masalah perkawinan pun akan selesai dengan sendirinya.

Namun bagi perempuan yang kurang memiliki keberanian, pendapat kelompok feminis tersebut dianggap kurang meyakinkan. ”Gagasan kelompok feminis itu baik untuk para pejuang perempuan borjuis yang mendapat dukungan dari kalangan atas, memiliki tingkat kebebasan yang tinggi, jaringan pertemanan yang baik, dan kualitas diri yang mempesona. Tapi bagaimana dengan perempuan miskin, berupah minim, tanpa teman maupun pesona diri?“.

Persoalan kehamilan kemudian mulai berkecamuk dalam pemikiran perempuan-perempuan yang berjuang untuk kemerdekaan kaumnya. Apakah ”cinta tanpa pamrih’ itu mungkin? Dengan struktur perekonomian yang ada, mungkinkah gagasan tersebut dapat direalisasikan sebagai sebuah fenomena umum, sebagai norma yang diakui masyarakat luas dan bukan hanya oleh perseorangan? Apakah mungkin kita mengabaikan masalah mengenai kepemilikan pribadi dalam kehidupan perkawinan modern? Apakah mungkin kita mengabaikan betuk formal perkawinan tanpa merusak kepentingan perempuan, mengingat bahwa pernikahan justru memberikan jaminan bagi seorang perempuan untuk tidak memikul seluruh tanggung jawab dan kesulitan menjadi seorang ibu. Penghapusan regulasi guild tanpa menegakkan peraturan baru untuk menuntun keputusan para pemimpin negara telah memberikan kuasa penuh pada uang untuk mendominasi kehidupan buruh.

Slogan “Freedom of contract for labour and capital“ (kebebasan berkontrak untuk buruh dan kapital) bagaikan jebakan yang dijadikan alat oleh kapitalisme untuk mengeksploitasi kalangan buruh. Konsep ‘free love’ (kebebasan cinta) yang secara konsisten ditawarkan kepada kalangan masyarakat modern bukannya memerdekakan kaum perempuan dari cengkraman kehidupan perkawinan, tetapi justru membebani mereka dengan permasalahan-permasalahan baru: memikul tanggung jawab untuk menghidupi anak-anak mereka sendirian, tanpa bantuan seorang suami.

Konsep ‘free love’ hanya mungkin teraktualisasi apabila terjadi reformasi fundamental di seluruh aspek relasi sosial, yakni memindahkan obligasi-obligasi yang tercipta dalam kehidupan perkawinan kepada masyarakat dan negara. Namun, seberapa pun demokratisnya masyarakat modern, apakah kita benar-benar dapat mengharapkan mereka untuk bersedia mengambil alih tanggung jawab seorang ibu atas anaknya, yang pada saat itu dipikul oleh unit keluarga? Transformasi fundamental merupakan syarat mutlak untuk menciptakan norma-norma sosial yang melindungi perempuan dari aspek-aspek negatif yang tercipta oleh konsep ‘free love’. Kita harus waspada atas terjadinya perampasan hak dan perilaku menyimpang yang bersembunyi di balik kedok konsep tersebut. Bayangkan apabila lelaki yang pada saat itu menguasai seluruh industri bisnis, memaksa seluruh jajaran karyawan perempuannya untuk memenuhi napsu seksual mereka, dengan menggunakan ancaman pecat. Bukankan mereka sebenarnya, dengan menggunakan cara mereka sendiri, mempraktekan konsep ‘free love’? Bukankah para ‘juragan’ yang menghamili pelayan perempuannya untuk kemudian dibuang dalam keadaan hamil, turut berpartisipasi mempraktekan konsep ‘free love’?

Tapi bukan kebebasan seperti itu yang ditawarkan oleh konsep ‘free love’. Sebaliknya, konsep tersebut meminta masyarakat untuk menerima sebuah konsep moral yang mengikat kedua gender secara setara, dan menentang pandangan akan cinta yang berlaku pada saat itu, yang menggunakan cinta sejati sebagai alasan untuk memaksakan tindakan seksual. Akan tetapi wahai teman-teman tercinta, bukankah konsep ‘free marriage’ yang kita anggap ideal, ketika diterapkan dalam kehidupan masyarakat masa kini juga akan menghasilkan efek-efek yang tidak jauh berbeda dengan perilaku seks bebas?

Konsep ‘free love’ hanya dapat diimplementasikan tanpa membawa beban baru bagi perempuan apabila mereka tidak lagi tergantung kepada dua hal yang selama ini menghambat kemerdekaannya, yakni ketergantungan terhadap uang dan suami. Jika semua perempuan dapat bekerja dan berhasil untuk mandiri secara ekonomi, kemungkinan untuk mengimplementasikan konsep ‘free love’ akan semakin besar, terutama bagi perempuan berpendidikan tinggi dengan gaji yang cukup. Namun ketergantungan perempuan terhadap uang tetap terjadi, dan terus meningkat ketika semakin banyak perempuan proletar menggadaikan kekuatan buruhnya. Lantas, apakah konsep ‘free love’ mampu meningkatkan kualitas hidup perempuan-perempuan tersebut, yang penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup sehari-hari? Dan bukankah sebenernya konsep tersebut sudah dipraktekan secara luas diantara kalangan pekerja sehingga membuat kalangan borjuis kalang kabut dan pada akhirnya berkampanye memprotes gerakan proletar yang mereka anggap ‘bertabiat buruk’ dan ‘ tidak bermoral’?

Perlu diperhatikan di sini, bahwa ketika para feminis dengan antusias memperkenalkan bentuk hubungan di luar perkawinan maka masyarakat menganggap mereka menawarkan konsep ‘free love’, tetapi ketika gagasan tersebut dikemukakan oleh perempuan proletar maka hubungan antar manusia tersebut dengan caci-maki  ditentang dan dianggap sebagai perilaku seks menyimpang.

Namun sesungguhnya bagi perempuan proletar, semua bentuk hubungan – baik yang diakui oleh Gereja ataupun tidak – sama-sama berkonsekuensi negatif untuk perempuan. Sumber permasalahan bagi seorang istri dan ibu dalam kehidupan berkeluarga dan perkawinan bukan terletak pada suci-tidaknya bentuk hubungan mereka, namun pada bantuan sosial dan ekonomi untuk menghidupi diri dan anak-anaknya, walaupun tentu saja di luar itu perempuan proletar juga tidak setuju atas hak sorang suami untuk mengambil alih penghasilan istrinya, hak suami yang sah secara hukum untuk memaksa sang istri tetap tinggal bersama meskipun istri keberatan, atau hak suami mengambil hak asuk anak-anak mereka. Masalah yang muncul dalam hubungan laki-laki dan perempuan hanya dapat diatasi apabila masyarakat membebaskan perempuan dari belenggu urusan rumah tangga sehari-hari yang pada saat itu tidak dapat dihindari (mengingat kondisi domestik ekonomi yang beragam), mengambil alih tanggung jawab atas masa depan generasi muda, serta membela hak ibu hamil dengan memberikan hak sang ibu untuk mengasuh anaknya setidaknya pada satu bulan pertama setelah kelahiran.

Dalam usahanya melawan ikatan suci perkawinan yang diakui oleh Gereja, para feminis seakan bertarung melawan suatu obsesi. Sebaliknya, perempuan proletar berperang melawan faktor-faktor yang mendukung bentuk perkawinan dan keluarga modern. Dalam usaha merubah kondisi hidup secara fundamental, mereka sadar bahwa mereka turut membantu terciptanya reformasi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Di sini lah letak perbedaan pendekatan-pendekatan yang digunakan antara perempuan proletar dengan perempuan borjuis, dalam usaha mereka mengatasi masalah rumah tangga.

Para feminis beserta pejuang reformasi sosial dari kalangan borjuis dengan naifnya yakin bahwa dengan bersatu padunya mereka akan memperbesar kemungkinan terciptanya bentuk tatanan rumah tangga dan perkawinan baru yang diidamkan. Jika kehidupan tidak dengan sendirinya menghasilkan bentuk hubungan tersebut, maka mereka akan mengupayakannya sebesar apapun biayanya. Mereka percaya bahwa bentuk baru hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan harus tercipta, yakni suatu bentuk yang mampu mengatasi masalah rumah tangga yang kompleks dalam sistem sosial yang berlaku pada saat itu. Ideologi ini dikedepankan satu demi satu dalam dunia kalangan borjuis – para jurnalis, penulis dan pejuang emansipasi perempuan – sebagai ’resep baru’ kehidupan rumah tangga yang sukses.

Resep berumah tangga ini memang terasa jauh di atas angan-angan. Betapa lemahnya resep tersebut mengingat kenyataan suram struktur rumah tangga modern saat ini, seperti obat yang hanya mampu meringankan sakit tapi tak bisa menyembuhkan. Sebelum konsep ’free relatonship’(kebebasan menjalin hubungan) dan ’free love’ (kebebasan cinta) dapat dijalankan, dibutuhkan perubahan fundamental dari seluruh bentuk hubungan sosial antar manusia. Lebih lanjut lagi, diperlukan evaluasi mendalam atas norma-norma sosial dan norma-norma seksual, yang meneliti benarkah masyarakat modern secara psikologis sungguh mampu mengatasi gagasan ’free love’.

Sudahkah mereka mempertimbangkan rasa cemburu yang berpotensi muncul dari konsep tersebut? Atau rasa ingin saling memiliki yang kuat di antara dua insan yang saling mencinta? Atau ketidakmampuan manusia untuk saling menghormati hak satu sama lain? Bagaimana dengan kebiasaan manusia untuk merendahkan diri atau direndahkan oleh pasangan yang dicintainya? Dan pahitnya rasa putus asa disia-siakan setelah orang tercinta tidak lagi mencintai kita dan pergi begitu saja? Kemana harus manusia yang kesepian ini mencari ketengan jiwa? Kebersamaan dan persatuan, yang tercipta atas persamaan aspirasi dan rasa kecewa, merupakan medium terbaik untuk meyalurkan emosi dan energi mereka. Namun apakah laki-laki modern mampu untuk bekerjasama dengan persatuan kolektif perempuan? Apakah keberadaan persatuan perempuan benar-benar mampu menggantikan kebahagian hidup individu perseorangan? Tanpa kehadiran teman hidup yang ’unik’ dan ’satu-satunya di dunia’, bahkan bagi seorang sosialis, kehidupan akan terasa sepi. Kita dapat menaruh secuil harapan pada kehidupan kalangan pekerja atas kemungkinan terciptanya hubungan sosial antar manusia yang harmonis di masa depan. Permasalahan keluarga sedemikian kompleks dan memiliki beribu aspek; sistem sosial kita saat ini belum mampu mengatasinya.

Formula pernikahan baru telah dicoba diperkenalkan. Beberapa pejuang perempuan progresif dan pengamat sosial mengganggap ikatan perkawinan hanya merupakan alat untuk beranak-pinak. Perkawinan di mata mereka, tidak memberikan sesuatu yang berharga bagi perempuan – bahwa menjadi ibu adalah fungsi suci dan merupakan tugas perempuan dalam hidup ini. Berkat Ruth Bray dan Ellen Key, dua orang ahli hukum borjuis idealis yang menghargai perempuan sebagai perempuan dan tidak hanya sebagai seorang manusia, gerakan perempuan mengalami kemajuan signifikan. Buku-buku terbitan luar negeri dengan antusias menyambut baik ide-ide yang ditawarkan kedua perempuan berpikiran maju ini. Bahkan di Rusia, sebelum terjadinya revolusi politik tahun 1905 dan sebelum masuknya nilai-nilai sosial, masalah kehamilan sudah menyita perhatian para jurnalis surat kabar harian. Slogan seperti “Hak Menjadi Ibu“ selalu mendapat respon positif dari perempuan di seluruh lapisan masyarakat. Meskipun gagasan-gagasan yang ditawarkan kelompok feminis terdengar sangat utopis, masalah tersebut terlalu penting untuk tidak menyita perhatian perempuan.

“Hak Menjadi Ibu“ merupakan permasalahan yang tak hanya menyentuh perempuan dari kalangan borjuis, tetapi juga dianggap penting bagi perempuan proletar, mengingat kalimat slogannya yang mampu ’menusuk’ hati setiap ibu. Hak untuk dapat memberi makan dan menyusui anak mereka, menyaksikan langkah pertama mereka, hak untuk menjaga tubuh mungil mereka dan melindungi jiwa mereka dari kerasnya hidup; ibu mana yang tidak mendukung tuntutan-tuntutan tersebut?

Dari luar terlihat seakan-akan sekali lagi kita dihadapkan pada persoalan yang mampu menyatukan perempuan dari dua kelompok sosial yang bertentangan, yakni perempuan borjuis dan perempuan proletar. Namun marilah kita lihat lebih teliti, seperti apa pemahaman kelompok perempuan atas konsep ’hak menjadi ibu’.  Setelah itu baru kita dapat menilai apakah solusi yang mereka tawarkan dalam memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dapat diterima oleh perempuan proletar. Di mata perempuan borjuis, peran ibu memiliki kualitas mendekati sakral. Berjuang untuk mematahkan persepsi umum yang mencap perempuan untuk wajib melahirkan – mengingat masalah tersebut belum jelas secara hukum – para perempuan yang memperjuangkan hak ibu menawarkan konsep bahwa menjadi seorang ibu merupakan tujuan hidup semua perempuan.

Kesetiaan Ellen Key untuk terus mengulik masalah tanggungjawab keibuan dan keluarga telah membuat dirinya yakin bahwa eksistensi unit keluarga yang terisolasi akan terus ada, bahkan dalam kehidupan masyarakat modern yang mengalami transformasi di sepanjang sejarah sosialis. Dirinya melihat bahwa satu-satunya perubahan yang mungkin terjadi adalah tidak menghitung kenyamanan dan pendapatan materi ke dalam ikatan perkawinan, dan hanya akan menghitungnya sesuai dengan kesepakatan dan keinginan bersama, tanpa ritual maupun proses formal: cinta dan perkawinan menjadi dua hal yang memiliki arti sama. Namun unit keluarga yang tersisolasi dihasilkan oleh dunia modern yang individualis, dengan persaingan ketatnya, tekanan-tekanan sosial dan ekonominya, kehidupannya yang sepi. Dengan kata lain, keluarga merupakan produk dari sistem kapitalisme yang mengerikan.

Dan herannya Ellen Key berniat untuk mewariskan konsep tatanan keluarga kepada masyarakat sosialis! Memang benar, bahwa hubungan darah dan persaudaraan sering menjadi satu-satunya bagian hidup yang tak pernah lelah memberikan dukungan di saat seseorang mengalami kesusahan. Namun secara moral dan sosial, apakah keluarga sungguh-sungguh memiliki arti penting di masa mendatang? Ellen Key tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Dirinya terlalu setia dan jatuh hati terhadap konsep ’keluarga ideal’, sebuah unit sosial bersifat egois yang eksistensinya begitu dipuja oleh kalangan menengah borjuis.

Namun tak hanya Ellen Key yang kehilangan arah di tengah-tengah kontradiksi sosial. Mungkin tidak ada isu lain selain masalah perkawinan dan keluarga yang membuat kalangan sosialis begitu memiliki pendapat yang berbeda-beda. Sekalipun kita mencoba untuk melakukan survei opini terhadap para sosialis mengenai isu ini, hasilnya pasti ajaib. Apakah eksistensi keluarga makin lama semakin layu? Atau alasan-alasan yang beranggapan bahwa kekacauan keluarga yang terjadi saat ini hanya merupakan krisis transisi atas sebuah konsep? Akankah bentuk tatanan keluarga yang berlaku saat ini bisa bertahan dalam kehidupan masyarakat di masa depan, atau akankah konsep keluarga terkubur seiring dengan mencuatnya sistem kapitalis modern? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mendapat respon dan jawaban yang sangat beragam.

Dengan memindahkan fungsi edukasi dari keluarga ke masyarakat, ikatan terakhir yang menahan isolasi keluarga modern akan melemah; proses disintegrasi akan berlangsung dengan sangat cepat dan menghilangkan eksistensi tatanan perkawinan di masa datang. Dengan demikian, perlukah kita katakan sekali lagi bahwa di masa mendatang bentuk kewajiban perkawinan akan tergantikan oleh ikatan bebas antara dua individu yang saling mencinta? Konsep ’free love’ yang ideal diperkenalkan oleh perempuan yang mati-matian memperjuangkan emansipasinya, dimana konsep tersebut berhubungan erat dengan norma hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kemungkinan akan ditegakkan oleh generasi mendatang. Tetapi pengaruh-pengaruh sosial saat ini bersifat sangat kompleks dan interaksi antar manusia begitu beragam, sehingga sulit untuk memprediksi bagaimana bentuk hubungan yang akan tercipta di masa depan, ketika terjadi perubahan fundamental di seluruh sistem kehidupan. Namun evolusi bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terus mendewasakan diri secara perlahan namun pasti, merupakan bukti nyata bahwa ritual ikatan perkawinan dan tatanan rumah tangga ditakdirkan untuk menghilang dari kehidupan manusia.

Usaha Memperjuangkan Hak Politik

Feminis menjawab kritik dari masyarakat proletar dengan kembali memberikan pertanyaan sebagai berikut:  “Meskipun menurut Anda argumentasi yang melatarbelakangi perjuangan kami dalam membela hak politik perempuan adalah tidak benar, lantas apakah dengan demikian mengurangi besarnya kepentingan untuk memperjuangkan hak tersebut, yang dianggap mendesak bagi feminis dan kelas pekerja?“. “Tidakkah para perempuan dari dua kelompok sosial yang bertentangan dapat sekali ini saja, demi bersama-sama memperjuangkan aspirasi politik mereka, menelan perbedaan antar kelas yang memisahkan mereka?“.

Semestinya para perempuan ini mampu mempertimbangkan pentingnya perjuangan bersama melawan kekuatan jahat yang melumpuhkan hak-hak mereka. Apabila menyangut permasalahan sosial lain, perbedaan antara kelompok borjuis dan proletar memang sulit untuk terelakkan. Namun untuk permasalahan yang satu ini, yakni dalam menuntut hak politik perempuan, kalangan feminis beranggapan bahwa seluruh perempuan dari kalangan sosial manapun adalah sama. Dengan heran dan pahit kelompok feminis kecewa akan keputusan wakil-wakil kelas pekerja yang tanpa pertimbangan terlebih dahulu menolak untuk bekerjasama memperjuangkan hak politik perempuan. Apakah aspirasi politik dapat mewakili identitas ataukah justru menghalangi terciptanya kesatuan pejuang perempuan dari seluruh lapisan masyarakat? Kita harus terlebih dahulu mendapat jawaban atas pertanyaan ini sebelum menjabarkan garis besar taktik yang digunakan perempuan proletar dalam memenangkan hak politik untuk kaumnya.

Kelompok feminis menyatakan dirinya mendukung reformasi sosial, bahkan beberapa orang di antara mereka mengatakan bahwa kehadiran feminis merupakan anugerah bagi paham sosialis, namun mereka tidak mengikutsertakan kalangan proletar dalam merealisasikan cita-cita reformasi sosial. Mayoritas feminis berasumsi dengan naifnya bahwa ketika mereka mampu menduduki kursi perwakilan, mereka akan dengan mudahnya menyembuhkan luka sosial yang selama ini disebabkan oleh laki-laki yang berkuasa hampir di seluruh aspek dan situasi kehidupan. Sebaik apapun niat masing-masing anggota kelompok feminis terhadap kelompok proletar, mereka akan dengan ketakutan meninggalkan arena peperangan ketika dihadapkan pada persoalan perjuangan kelas. Mereka tidak ingin ikut campur dalam permasalahan asing, dan memilih untuk mundur kembali ke dalam kehidupan borjuis liberal yang familiar dan nyaman bagi mereka.

Kelompok feminis berusaha keras menekan hasrat mereka untuk berpolitik, namun mereka juga terus berusaha mengingatkan dan meyakinkan adik-adik pejuang feminis bahwa keterlibatan dalam dunia politik menjanjikan keuntungan tak ternilai bagi perempuan kelas pekerja. Semangat perempuan borjuis yang tak pernah padam ini memberikan warna tersendiri dalam sejarah perjuangan gerakan feminis dan dalam memperjuangkan kesetaraan hak perempuan, yang tampaknya merupakan tuntutan universal seluruh perempuan. Perbedaan tujuan dan pemahaman mengenai bagaimana semestinya memanfaatkan hak politik telah menyebabkan terciptanya jurang dalam antara perempuan proletar dan borjuis.

Perbedaan pandangan tersebut tidak menutupi fakta bahwa sesungguhnya tugas penting yang harus segera diselesaikan oleh kedua kelompok perempuan tersebut adalah sama, dimana para wakil kelompok yang telah mendapat akses politik sama-sama berusaha untuk merubah kode sipil, yang hampir di seluruh negara mendiskriminasi perempuan. Pada akhirnya semua perempuan menuntut perubahan hukum yang lebih menguntungkan bagi pekerja, seperti contohnya mereka bersatu-padu menentang peraturan yang melegalkan prostitusi. Namun kebersamaan dalam menyelesaikan tugas penting ini hanya terbentuk dalam kerangka formal semata, dan justru semakin memperjelas perbedaan kepentingan antara dua kelompok kelas yang berbeda.

Insting kelas, sebagaimana kelompok feminis menyebutnya, akan selalu lebih kuat dibandingkan dengan niat baik untuk berpolitik tanpa pandang kelas. Ketika perempuan borjuis dan perempuan proletar masih setara dalam ketidaksetaraan mereka sebagai perempuan, maka perempuan borjuis akan bersedia dengan tulus mencurahkan segenap tenaga memperjuangkan kepentingan universal kaumnya. Namun ketika perjuangan mereka berhasil dan perempuan mencapai kesetaraan hak dengan laki-laki, perempuan borjuis yang telah mendapat akses ke aktivitas politik akan cenderung membela kepentingan kelasnya, dan meninggalkan perempuan proletar sendirian dan tak berdaya tanpa hak sama sekali. Maka tidaklah mengherankan, apabila ketika perempuan borjuis mengajak perempuan proletar untuk bersama-sama memperjuangkan kepentingan universal perempuan, perempuan proletar bersikap skeptis dan menaruh rasa curiga besar.***


[1] Sumber: http://www.marxists.org/archive/kollonta/1909/social-basis.htm (1 of 18)10/6/2007 1:42:09 PM. Tulisan ini adalah ringkasan dalam bahasa Inggris dari tulisan aslinya setebal 400 halaman dalam bahasa rusia (tambahan keterangan oleh penterjemah).

Komentar Via Facebook

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here