Bermula dari Wabah di China
Apa yang kita hadapi saat ini, Covid-19, bermula dari wabah virus corona yang menjangkiti penduduk kota Wuhan di Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Virus ini menyebabkan pneumonia (infeksi paru-paru) dan memicu kematian. Disebut wabah, karena jumlah kasus (orang yang terjangkiti) meningkat dengan sangat cepat. Wabah itu ternyata menyebar dengan cepat, menginfekasi penduduk di luar Wuhan, bahkan hampir seluruh China. Penyebaran wabah itu disebut (ditetapkan) sebagai epidemi. Tak hanya di China, dengan sangat cepat virus corona menyebar luas dibanyak negara, melampaui batas “normal”, maka digunakan istilah pandemi.
Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan nama penyakit itu adalah COVID-19 dan mengumumkannya sebagai Global Pandemic. Ketika itu penyebaran virus telah mencapai 114 negara di dunia. Jadi, istilah pandemi digunakan untuk menunjukkan tingkat penyebarannya sebagai penyakit baru di seluruh dunia. Penjelasan atas penamaan COVID-19 adalah “co” untuk singkatan dari corona, “vi” untuk virus dan “d” untuk penyakit. Sementara “19” untuk menyebut tahun 2019 karena wabah pertama kali diidentifikasi pada tanggal 31 Desember 2019.
Bencana Nasional dan Kepanikan Warga
Setelah WHO menyatakan Covid-19 sebagai Pandemi Global, di Indonesia Covid-19 dinyatakan sebagai bencana nasional oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada 13 April 2020. Menurut Kepres ini, Gubernur, Bupati, dan Wali kota adalah Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di daerah dan dalam menetapkan kebijakan di daerah masing-masing harus memperhatikan kebijakan Pemerintah Pusat.
Sejak kasus pertama Covid-19 di Indonesia ditemukan dan diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Senin, 2 Maret 2020) di Jakarta, hal pertama yang disampaikan oleh pemerintah adalah “jangan panic”. Tentu saja dilanjutkan dengan berbagai langkah untuk penanggulangan Covid-19, mulai aspek penanganan kasus, pencegahan dan mengatasi dampak.
Namun, kepanikan warga masyarakat adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Mengingat sebelumnya telah menyaksikan dari berbagai media (televisi dan media social) bagaimana Wuhan dijangkiti wabah virus yang mengerikan, lalu dengan sangat cepat menjadi epidemi dan “tiba-tiba” menjadi pandemi. Kita tentu masih dapat mengingat berbagai kisah dan peristiwa, bagaimana kepanikan masyarakat ketika masker tiba-tiba hilang atau “kosong” di toko-toko, orang-orang berduit belanja (terutama sembako) menghabiskan isi toko, harga rempah-rempah (jahe, kunyit dan sejenisnya) tiba-tiba mahal, dll.
Kepanikan itu mulai mereda seiring dengan dikeluarkannya kebijakan dan sikap pemerintah yang lebih jelas dan tegas. Mulai dari pembatasan social (social distancing) ke pembatasan phisik atau jaga jarak (physical distancing) yang diikuti dengan anjuran di rumah saja dan karantina mandiri, cuci tangan pakai sabun, pakai masker kain untuk warga, hingga wacana terkait karantina wilayan (lockdown) dan kebijakan anggaran untuk mengatasi Covid-19. Bagaimana cara pemerintah menangani situasi ini, jelas akan memberikan dampak signifikan pada kehidupan masyarakat.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Kepanikan lain yang mulai terasa saat ini adalah terkait dampak social dan ekonomi dari pembatasan social hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai ditetapkan di suatu wilayah. Kecemasan mulai menghantui masyarakat terutama kelas bawah yang secara ekonomi paling terdampak Covid-19 ini.
“Kalau saya di rumah saja, keluarga saya tidak makan. Tapi, begitu saya coba keluar rumah, seperti biasa nongkrong di simpang (pangkalan becak-pen), ternyata gak ada juga anak-anak sekolah yang biasanya naik becak saya minta diantar dan dijemput pulang. Jadi, gak ada penghasilan…” demikian komentar Wak Lanang, tukang becak langgangan penulis.
“Adduuhhh…kayak mana ya, udah seminggu Warung Kopiku gak jualan. Karena aku jualan kopi-teh (sarapan) dan makan siang kan di depan kantor dan rumah-rumah kost mahasiswa. Sekarang, semua orang pada libur, katanya kerja dan sekolahnya dari rumah. Jadi, hampir gak ada yang beli ke warung lagi. Tutuplah warungnya…”. Keluh Buk Siti dengan wajah sedih, pemilik Warung Kopi di depan rumah penulis.
Mereka tidak sepenuhnya mengerti mengapa Covid-19 menjadi bencana nasional (bahkan bencana global) yang menyebabkan mereka harus mendengar dan jika mungkin mengikuti himbauan pemerintah untuk menjaga jarak pisik, lebih baik di rumah saja (dengan rajin cuci tangan pakai sabun) dan pakai masker kain kalau terpaksa harus ke luar rumah atau berada di kerumunan orang. Yang mereka tahu, situasi mendadak “sepi”, pendapatan harian mereka terhenti, padahal selama ini mereka tidak pernah punya tabungan.
“Buat kami, di rumah aja, atau coba-coba tetap narik becak atau tetap jualan (di luar rumah), keadaannya sama. Sama-sama gak jalan usahanya, gak ada orang, gak ada penghasilan…”
Gak Pake Masker, Gak Cuci Tangan
Itu sebabnya, masih banyak warga masyarakat yang enggan menggunakan masker ketika berada di kerumunan, atau mencuci tangan pakai sabun, setelah melakukan berbagai aktifitas baik di rumah maupun di luar rumah. Sebab, memakai masker atau mencuci tangan tidak mengembalikan kehidupan social dan ekonomi mereka seperti semula.
Namun, mereka terus berusaha memahami apa yang terjadi dan mencoba mengikuti perkembangan situasi, terutama terkait kebijakan pemerintah dalam mengatasi dampak ekonomi.
“Kita tengoklah nanti kayak mana pemerintah kita. Mana tau orang-orang kayak kami kali ini diurus. Khabarnya mau ada bantuan sembako, tapi dari dulu pun, kami ini gak pernah dicatat, gak pernah dapat (bantuan). Padahal orang yang dapat PKH itu, hidupnya lebih senang daripada kami,” Wak Iris, buruh cuci yang diliburkan, karena semua penghuni rumah berkumpul, pada cuci baju dan setrika sendiri, mengisi waktu luang “di rumah” saja.
Lubuk Pakam, 20 Maret 2020
Lely Zailani
[/button]