(FederasiHapsari) : Sepanjang bulan Juli 2012 – Agustus 2013 lalu, dengan dukungan pendanaan dari USAID-ProRep, HAPSARI menjalankan program berjudul : Memperkuat Kapasitas Advokasi Organisasi Perempuan untuk Mempromosikan dan Melindungi Hak-hak Ekonomi Perempuan pada Implementasi Program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Salah satu kegiatan program yang dilakukan HAPSARI adalah pemantauan implementasi program KUR di 6 kabupaten di Sumatera Utara dan DIY oleh kader-kader perempuan basis anggota HAPSARI. Hasil pemantauan telah diterbitkan dalam bentuk buku lapaoran hasil pemantauan berjudul : “Relasi Sebatas Tupoksi”.
Hasil pemantauan telah menjadi bahan lobby dan dialog dengan kalangan pemerintahan daerah (kabupaten), legislative daerah (DPR-D) dan perbankan, dan menjadi topik dalam forum dialog nasional yang melibatkan kalangan legislative nasional (DPR-RI) dan DPD terkait dengan akses masyarakat terutama perempuan miskin dalam penyaluran KUR.
Capaian Hasil Penting Program ini antara lain :
1. Kader Perempuan Basis anggota HAPSARI di kabupaten Kulon Progo (DIY) mampu secara mandiri mengakses program KUR; ada 10 orang perempuan basis anggota HAPSARI di kabupaten Kulon Progo yang secara mandiri berhasil mengakses KUR di BRI, hanya dengan menunjukkan Buku Laporan Hasil Pemantauan KUR. Padahal selama ini, jangankan mengetahui KUR, berhubungan dengan pihak bank saja mereka belum pernah.
2. Menguatnya Hubungan Jaringan dengan pemerintahan dan legislative daerah; 3 serikat perempuan anggota HAPSARI (SPI Kulon Progo – DIY, SPI Labuhanbatu dan SPI Serdang Bedagai – Sumut) lebih mudah mengakses program-program pemerintah; mendapatkan bantuan bibit untuk produk pertanian, narasumber kegiatan dari SKPD dan DPR-D, dan diundang dalam Musrenbang mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi (Sumut).
3. Di internal organisasi HAPSARI juga terjadi perubahan strategi advokasi yang lebih “santun” dengan mengutamakan pendekatan audiensi, dialog dan aksi kreatif (siaran radio dan pementasan teater) daripada berdemonstrasi. Pendekatan ini tampaknya lebih diterima oleh kalangan pemerintahan dan legislative, terbukti dengan pendekatan ini kader-kader HAPSARI lebih mudah bertemu dan berdialog dengan mereka.
4. Adanya dukungan untuk pengakuan produk anggota; produk kopi dan teh yang dikelola oleh Koperasi HAPSARI kabupaten Kulon Progo mendapat dukungan pengakuan (lisan) dari pemerintah (Bupati) sebagai produk unggulan daerah dan dimasukkan dalam brosur produk lokal oleh Dinas Koperasi.
5. Terjadi perluasan anggota; terbentuknya organisasi baru (serikat perempuan) di kabupaten Mamuju – Sulawesi Barat yang saat ini terus mendapat mendampingan untuk penguatan dari HAPSARI.
Bagi HAPSARI, apa yang dicapai dari hasil program tahap pertama ini adalah fase “membuka jalan” secara formal untuk berhadapan dan berbicara langsung dengan pemerintah dan dewan perwakilan di tingkat lokal (kabupaten). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan telah mendorong HAPSARI mengubah strategi advokasi; dimulai dengan kegiatan pemantauan (melalui survey, dilanjutkan dengan pendekatan (loby) dan dialog-dialog formal yang lebih “santun” yang dilakukan melalui audiensi dan forum dialog. Pendekatan ini (yang membedakannya dengan aksi massa/demonstrasi) terbukti menghasilkan pencitraan positif pada keberadaan organisasi HAPSARI. Kegiatan survey[1] di enam kabupaten dan dua provinsi dan laporan hasil survey yang diterbitkan HAPSARI berhasil membangun citra bahwa HAPSARI memiliki kapasitas intelektual yang layak untuk melakukan advokasi. Sementara loby, audiensi dan forum-forum dialog yang dilakukan berhasil membangun citra bahwa HAPSARI adalah LSM yang “dapat diajak dialog dan bekerjasama”.
Isu Utama HAPSARI Saat Ini dan Fokus Advokasi
Sebagai federasi, mandat HAPSARI adalah bekerja untuk melayani kepentingan anggotanya. Isu utama yang dihadapi anggota-anggota HAPSARI saat ini adalah belum terpenuhinya hak-hak dasar rakyat terutama perempuan. Hak-hak dasar yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu yang sangat muluk, misalnya ; sekadar hak atas pelayanan publik yang baik (birokrasi yang mudah, nyaman dan ramah pada perempuan), hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik, hak untuk berorganisasi, hak untuk berpartisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan di wilayah publik, hak untuk mendapat permodalan membuka atau mengembangkan usaha, dan sebagainya.
Belum terpenuhinya hak-hak dasartersebut, ikut menjadi penyebab terjadinya marginalisasi dan pemiskinan perempuan (keterbelakangan, pengangguran, ketidakadilan, penindasan dan rasa takut). Kemiskinan juga menghalangi perempuan untuk lebih banyak melakukan aktifitas sosial berpartisipasi di wilayah publik (termasuk berorganisasi), seperti yang dialami oleh seluruh pengurus serikat anggota HAPSARI. Dalam kondisi yang demikian, menjadi sulit bagi organisasi untuk bergerak melakukan advokasi, kerena organisasi belum sepenuhnya mampu mengatasi permasalahan ekonomi perempuan para pengurus dan anggotanya.
Itulah sebabnya, dalam rencana program pemberdayaan ekonomi perempuan (individu) dan organisasi yang merupakan rekomendasi hasil workshop Pembangunan Sumberdaya Ekonomi Untuk Kemandirian Organisasi dan Gerakan, HAPSARI akan melakukan Perencanaan Bisnis dan Kewirausahaan Sosial, melalui workshop yang akan menjadi bagian dari finalisasi penguatan kapasitas.
Lalu, belajar dari keberhasilan anggota HAPSARI di Kulon Progo dalam mengelola unit-unit usaha komunitas melalui koperasi, saat ini kegiatan serupa (pendirian Koperasi dan Penataan manajemennya) juga sedang dilakukan di tiga serikat anggota HAPSARI di kabupaten Serdang Bedagai, Deli Serdang dan Labuhanbatu. Koperasi adalah badan hukum formal yang akan dikelola sebagai alat penguatan ekonomi perempuan, media penguatan jaringan, sekaligus alat advokasi kebijakan publik yang akan digunakan HAPSARI bersama serikat-serikat anggotanya di kabupaten.
Di sisi lain, saat ini hubungan jaringan HAPSARI dengan pemerintah daerah dan legislative juga mulai menguat. Tetapi hubungan jaringan yang terbangun selama ini masih merupakan hubungan jaringan personal, belum secara formal tertuang dalam bentuk kebijakan yang mengikat, semisal; akad kerjasama, surat pernyataan dukungan, surat ketetapan (SK) dan sebagainya. Sehingga ketika ada perubahan kepemimpinan (mutasi pejabat, pergantian orang, dll) hubungan jaringan terputus begitu saja dan harus dimulai dari awal lagi. Ini adalah catatan pembelajaran penting yang menjadi agenda untuk diperbaiki HAPSARI ke depan.***
[1]Survey Pemantauan Implementasi Program KUR