Beranda Referensi

Membaca Pemikiran Alexandra Kollontai (1)

1102
BERBAGI

Serial Pemikiran Feminis Sosial Demokrat:

Mengenal Pemikiran Alexandra Kollontai

(1872 – 1952)

Bahan disarikan oleh  Arimbi HP dan L. Diana dari berbagai sumber

Diterjemahkan oleh Arimbi HP, L. Diana dan Airin Pradnya Paramita

Penyunting: Arimbi HP

Alexandra Kollontai di tahun 1919 menyebutkan bahwa gerakan perempuan pekerja di Rusia tidaklah terpisahkan dengan seluruh gerakan proletar.

Garis waktu Kehidupan:

  • 1870 – Vladimir Ilych Ulyanov (Lenin) dilahirkan
  • 1872 – Alexandra Mikhailovna Domontovich dilahirkan
  • 1879 – Lev Bronstein (Trotsky) dilahirkan
  • 1881 – Pembunuhan Tsar Alexander II. Memicu eksekusi publik terhadap 5 teroris, salah satunya adalah Sofya Perovskaya, perempuan yang memberi inspirasi bagi Kollontai untuk mendedikasikan dirinya bagi revolusi.
  • 1893 – Alexandra menikahi Vladimir Kollontai, putranya Misha dilahirkan satu tahun kemudian.
  • 1896 – Kunjungan Kollontai yang pertama dan mengubah kehidupannya ketika melihat kehidupan kelas pekerja di pabrik yang buruk.
  • 1898, Kollontai berpisah dengan Vladimir, dan membawa anak laki-laki mereka, Misha, dengannya.
  • 1904 – Lenin meminta Kollontai untuk bekerja bagi penerbitan Bolshevik, Kollontai bergabung.
  • 1905 – “Minggu Berdarah,” pembantaian atas aksi damai. Kollontai ada di dalam kerumunan.
  • Pada usia 45 tahun Kollontai menikahi pelaut tinggi besar berusia 28 tahun, Pavel Dybenko

Revolusi Pecah :

  • 1906 – Kollontai membangun organisasi perempuan pekerja
  • 1908 – Kollontai menulis Social Basis for the Women’s Question.
  • 1917 – Revolusi pecah, Kollontai mendukung Lenin
  • 1921 – Kollontai bergabung dengan “Pekerja Oposisi” (Workers’ Opposition) Komite yang membangkang di dalam Partai, yang kelak dibubarkan Lenin.
  • 1921 – Teks Alexandra Kollontai tentang The Workers ‘Opposition (Perlawanan Pekerja).  adalah usaha untuk memberikan justifikasi rinci bagi thesis tentang Pertanyaan Serikat Pekerja (the Trade Union Question), yang diajukan oleh   Pekerja Oposisi (Workers’ Opposition) untuk didiskusikan di Kongres 101 (Maret 1921)
  • 1923-26 – Idenya tentang perkawinan dan moralitas seksualitas mendapat banyak kritik.
  • 1930an – 40-an – Kollontai bekerja dalam berbagai pos diplomatik dan posisi penasehat.
  • 1952 – Alexandra Kollontai meninggal dunia karena serangan jantung.

BAGIAN I

TENTANG ALEXANDRA KOLLONTAI

New Picture (7)Alexandra Kollontai adalah revolusioner dan salah satu pemimpin utama dari Partai Bolshevik di era Revolusi Rusia 1917. Tahun 1920-21 ia menjadi pemimpin oposisi pekerja dalam partai. Sejak tahun 1923 dia mengundurkan diri dari aktivitas politik langsung dan menjadi diplomat dan duta besar Soviet untuk Norwegia, Mexico dan Swedia.

Kollontai menjadi pionir dalam menganalisis penindasan perempuan dengan perspektif sosialis dan marxis dan dalam mengembangkan pekerjaan politik diantara kelompok buruh perempuan. Ia  mengembangkan banyak ukuran-ukuran praktis untuk menjelaskan situasi perempuan di awal-awal revolusi. Banyak dari buah pikirannya dikategorikan kontroversial di masanya, namun kemudian ditemukan-kembali dan diangkat oleh gerakan pembebasan perempuan di tahun 60 dan 70-an. (redflag.org.uk).

Alexandra Kollontai adalah figur utama dalam gerakan sosialis Rusia dari peralihan abad menuju revolusi dan perang sipil. Selama periode pengucilannya, ia menjadi pembicara dan penulis aktif di Jerman, Belgia, Perancis, Inggris, Skandinavia dan Amerika Serikat. Lahir dari keluarga kaya dengan latar belakang Ukrania, Rusia dan Finlandia, Kollontai dibesarkan di Russia dan Finlandia, dan mendapatkan kefasihan berbahasa sejak dini yang tidak saja membantunya dalam gerakan revolusioner, tetapi kelak menunjang  karirnya dalam pelayanan diplomatik Soviet. Ia memainkan peran penting dalam memaksa gerakan sosialis Rusia untuk mengorganisir kerja khusus diantara perempuan dan mengorganisir gerakan-gerakan massa dari perempuan kela pekerja dan petani, dan penulis dari berbagai aturan sosial di awal berdirinya Republik Soviet. (listserv.cddc.vt.edu).

Antara April dan Juni 1921, ditengah Kongres Komunis Internasional Ketiga, Alexandra Kollontai memberikan 14 kuliah di Sverdlov University tentang pekerjaan perempuan dalam evolusi ekonomi. Ini ditujukan untuk perempuan pekerja dan perempuan petani yang menjadi anggota atau simpatisan dari partai Bolshevik. Kepentingan substantif mereka sangat nyata, sebagai bandingan dari teks-teks di periode itu tentang pertanyaan mengenai pembebasan perempuan. Untuk usaha sistematis atas masalah yang diperdebatkan oleh kaum revolusioner tentang penindasan spesifik dan eksploitasi perempuan, menunjukkan kekayaan pemikiran Kollontai dan pengetahuannya mengenai sejarah dan antropologi. Ia beranjak lebih jauh dengan mempelajari asal-muasal penindasan perempuan dan mempertanyakan keluarga serta seksualitas tradisional. Mungkin lebih dari semua sisa pekerjaan politiknya, novel dan otobiografinya,  kuliah-kuliah ini mengungkapkan kontradiksi di mana ia berjuang untuk memerdekakan dirinya sendiri. Hal ini tetap saja tidak menyeluruh kecuali mereka ditempatkan dalam konteksnya masing-masing: tidak hanya ganggungan ekonomi dan politik serta guncangan terhadap semua nilai-nilai borjuis sebagai buah revolusi, tetapi juga kesulitan ekonomi yang besar yang mempengaruhi keterbelakangan Rusia,  terutama sesudah Perang Sipil. (newleftreview.org)

Teks Alexandra Kollontai tentang The Workers ‘Opposition (Perlawanan Pekerja) ditulis dalam bahasa Rusia, di awal tahun 1921. Ini adalah usaha untuk memberikan justifikasi rinci bagi thesis tentang Pertanyaan Serikat Pekerja (the Trade Union Question), yang diajukan oleh  Perlawanan Pekerja (Workers’ Opposition) untuk didiskusikan di Kongres 101 (Maret 1921)  Partai Komunis Uni Soviet (Thesisnya dipublikasikan di Pravda, 25 Januari, 1921). Dokumen ini segera diterbitkan di Inggris (April 22 – August 19, 1921) dan diterbitkan ulang di Chicago setahun kemudian. Di Russia,  disirkulasikan di Kongres ke-10, tapi segera diberangus  (sebagai akibat  Workers’ Opposition dianggap melanggar hukum), diikuti pemberangusan organisasi yang telah dipilih dalam Kongres. Solidarity menerbitkan kembali teks Kollontai di tahun 1961. Publikasi tersebut mendapat sambutan hangat (dilihat dari sisi penjualannya) namun sangat sedikit komentar. (geocities.com)

Alexandra Kollontai: Revolusioner

Oleh: Conrad Moore

Refleksi Pribadi

Cerita mengenai Alexandra Kollontai sangatlah menarik karena tidak hanya menjadi jendela untuk memahami rusia di masanya, tetapi juga menunjukkan bagaimana sejarah rusia tersebut dialami oleh perempuan.  Perempuan sangatlah jarang diperbincangkan dalam aliran sejarah utama (mainstream) sebagaimana adanya, tetapi untuk mempelajari dan memahami bagaimana kehidupan bagi perempuan di era Kollontai menjadi penting, ini membantu untuk melihat kondisi pada masa itu lebih tajam.

Tahun 1917 Bolshevik tumbuh di Russia menandakan permulaan dari era baru. Tidak pernah sebelumnya kemanusiaan menyaksikan revolusi seperti ini. Russia, Negara yang memiliki reputasi sejarah di mata rekan sejawatnya sebagai “terbelakang”, secara drastis berubah dari monarki menjadi Negara sosialis. Di seluruh Uni Soviet metamorfosis ini terjadi. Dalam era inilah seorang perempuan bernama Alexandra Kollontai tumbuh dan berusaha untuk berhadapan dengan era pertanyaan perempuan tua (the age old Woman Question). Gagasannya tentang cinta  dalam hubungannya dengan pertanyaan di atas telah memimpin ia dari rumah jenderal aristokrat rusia menuju ke koridor-koridor pemerintahan Sovyet yang baru dan segala sesuatu di atasnya.  Alexandra membawa perspektif tunggal kepada rusia dan sejarah perempuan, sebuah perspektif yang hanya bisa dijalankan oleh seorang perempuan dari pengalaman dan kehidupan Kollontai yang unik.

Alexandra Kollontai lahir 19 Maret  1872.  Ayah Alexandra Kollontai adalah Jenderal aristokrat Rusia Mikhail Domontovich,  yang memiliki ide liberal, namun sebagai pegawai kaisar Tsar, tentu saja ia tidak dapat mengembangkan ide-idenya tersebut.[1] Tentu saja benih-benih pemikiran Kollontai kelak tetap ditanam dari kedua orangtuanya. Kelak Kollontai menulis secara mengagumkan perkawinan kedua orang tuanya yang kontroversi. Ibunya adalah  petani biasa dan ayahnya berasal dari kelas bertanah. Perkawinan antar kelas sudahlah cukup dianggap skandal, tetapi lebih buruknya, ibunda  Alexandra harus memutuskan ikatan perjodohannya sebelum menikahi Mikhail. Jadi, telah terjadi sebelum masanya Alexandra sebuah contoh dari cinta yang bertentangan dengan norma-norma yang diterima masyarakat.

Masa kecil Kollontai dihabiskan dengan mempelajari bahasa Jerman, Inggris, dan Perancis, juga membaca banyak buku di perpustakaan ayahnya.[2] Pada usia 16 tahun orang tuanya berkeinginan untuk membawa Alexandra ke pasar perjodohan di St. Petersburg, tetapi Alexandra muda memilih yang lain. Dia menolak keras gagasan orang tuanya, dengan menggunakan argumentasi perjodohan ibunya yang gagal. Keinginan sejatinya adalah meneruskan studi ke luar negeri, namun ahirnya ia memilih tinggal dan menulis.[3] Walaupun demikian pertarungannya dengan perkawinan masihlah jauh dari selesai. Lamban laun ia jatuh cinta dengan putra dari teman keluarganya, seorang kapten muda bernama Vladimir Kollontai. Semula, kedua orang tuanya tidak setuju,  namun ketika Alexandra mengancam akan meninggalkan rumah, mereka mulai melunak. Alexandra muda berpikir bahwa ia telah berhasil  meloloskan diri dari takdir yang diwarisi ibunya, dengan menikahi orang yang dicinta, tetapi, pernikahannya inilah yang akan memandunya menuju api filosofi dan intelektual. Api ini yang akan menjadi katalis dalam kerja-kerjanya di masa mendatang.

Perkawinan Alexandra dan Vladimir membuahkan seorang anak laki-laki. Perempuan Rusia di era Kollontai diharapkan hidup dan tinggal di rumah mengurus keluarga dan anak-anaknya. Pendomestikan adalah ideologi umum di masa itu. Ideologi dalam budaya kaum Eropa, yang subur di Eropa Barat dengan kerasnya pekerjaan industri dan pandangan bahwa perempuan kelewat ringkih dan anggun untuk dikotori oleh kerasnya perburuhan.

Walaupun Russia bukanlah Negara industrialis seperti Negara-negara di sekelilingnya, pendomestikan perempuan juga bersarang disitu, didukung oleh pemikiran yang opresif dan konservatif selama berabad-abad. Gaya hidup domestik terbukti seperti penjara bagi kapasitas dan pikiran Alexandra Kollontai. Ia mulai merujuk Vladimir, sang suami, sebagai ‘tiran’-nya, dan menunggu terjadinya “revolusi melawan tirani cinta.”[4] Cinta pada masa itu seperti penjara.

Ia mulai menulis tentang peran perempuan dalam masyarakat Rusia. Ketika ia bertemu Vladimir, Kollontai adalah seorang pelajar di St. Petersburg. Disanalah ia mulai bergeser dari pembelajaran populis yang ia kembangkan dalam bacaan masa kecilnya, menuju Marxisme. Sejalan dengan kehancuran perkawinannya dengan Vladimir, Alexandra melihat marxisme sebagai pedoman. Jika para pekerja diperbudak oleh kapitalis, begitu juga perempuan yang diperhambakan oleh laki-laki. Hubungan ini sangat jelas bagi Kollontai. Nyala api politiknya semakin membara di tahun 1896 ketika ia dan Vladimir mengunjungi pabrik yang dikelola Vladimir. Ketika Kollontai melihat kondisi yang mengerikan, ia mulai marah. Pertengkarannya dengan Vladimir dan pemikiran politiknya semua bercampur dalam satu tempat.

Ia sekarang melihat bagaimana ia bisa berguna. Alexandra Kollontai ingin membantu pekerja itu dan, lebih penting lagi, perempuan, untuk mensetarakan mereka dalam rantai masyarakat. Ia memulainya dengan dirinya sendiri. Di tahun 1898,  ia meninggalkan Vladimir untuk selamanya dengan membawa putranya, Misha, bersamanya.

Pencariannya telah membawa dia ke partai Bolshevik. Dibawah organiser militan yang dikenal sebagai “nom de plume Lenin”, Kollontai akhirnya menemukan tempatnya. Ia mengunjungi pabrik-pabrik dan berusaha untuk mengorganisir perempuan pekerja di sana. Ia menemukan bahwa ide-idenya bertentangan dengan pemikiran feminis ‘borjuis’ lainnya. Beberapa feminis mendoronghak pilih bagi perempuan, dan melalui ini, mereka berpikir, lahir kesetaraan. Kollontai melihat ini sebagai mimpi di siang bolong. Bahkan jika perempuan mendapat hak untuk memilih, mereka masih tetap tertindas dalam dominasi masyarakat laki-laki dan kapitalis.

Akhirnya kaum Bolshevik meraih kekuasaan, yang membawa perubahan radikal di negeri itu sepanjang sejarahnya.  Lenin, kawan lama Kollontai, memimpin gerakan tersebut dan menempatkan dirinya sebagai pemimpin dari pemerintahan Soviet yang baru. Tetapi ketika banyak pikiran-pikiran Kollontai mulai diterapkan, akhirnya sampai pada titik di mana Alexandra berbeda pendapat dengan Lenin,  area yang akan menimbulkan riak diantara mereka dan membuat Kollontai kehilangan kekuasaan politiknya. Area ini, tentu saja, sang Pertanyaan Perempuan (the Woman Question).

Selama bertahun-tahun jawaban Kollontai terhadap Pertanyaan Perempuan telah  beranjak  jauh diatas pandangan sosial di masa itu. Para pengkiritknya menjuluki dia sebagai penganjur dari “cinta bebas,” sebua ide dari seks kasual tanpa cinta. Faktanya, ide-ide Kollontai sama sekali tidak mempromosikan seks bebas. Ia memfokuskan kepada dua hal yang dalam pandangannya tidak dapat dipisahkan: kehidupan privat dan publik. Ditengah tuduhan politik yang intens di awal berdirinya Uni Soviet, Kollontai berjuang untuk  membangun alas an yang masuk akal antara cinta dan kewajiban sipil. Lebih penting lagi, apa artinya lingkungan baru ini bagi cinta dan perempuan? Ia menulis:

Berapa banyak energi dan waktu kita sia-siakan dalam setiap tragedi cinta kita yang tidak berkesudahan dan komplikasinya! Tapi ini adalah juga kita, sang perempuan… yang mengajarkan diri kita dan kaum muda bahwa cinta bukanlah hal yang terpenting dalam hidup perempuan. Dan itu adalah jika ia harus memilih antara cinta dan pekerjaan  yang seharusnya tidak disukainya: ini adalah pekerjaan, pekerjaan kreatif yang dimiliki perempuan, yang memberinya sattu-satunya kepuasaan nyata dan membuat hidupnya berharga untuk kehidupan.[5]

Tulisannya kemudian dapat menggambarkan  pandangannya tentang bagaimana cinta bekerja. Dalam ”Cinta Lebah Pekerja” (Love of Worker Bees), sebuah karya fiksi, Kollontai menjelaskan apa yang ia lihat sebagai hubungan yang destruktif  yang dipenuhi cinta. Sebuah cerita pendek dalam buku itu, “Tiga Generasi” (“Three Generations,”) menguraikan kesulitan perempuan melalui tiga generasi berbeda dan dan bagaimana mereka bergulat dengan ideologi yang diterima di masa mereka. Generasi terbaru melihat tanpa keraguan tentang seks di luar hubungan yang romantis. Dalam menjelaskan bagaimana  cinta fisik yang murni mengubah hambatan emosi dari tindakan sederhana atas kesenangan (simple act of pleasure). Salah satu karakternya: Zhenya berkata: “… Saya tidak menjadi bagian dari siapapun sebagai musuh – ketika saya berhenti menyukai mereka ini berarti semua sudah berlalu”[6] Bagi Kollontai, cinta adalah bagi mereka yang menikah. “Jika anda mencintai seseorang, maka anda akan berpikir tentang dia, anda akan mengkhawatirkannya”.[7] Cinta yang tidak mendapat tempat dalam kehidupan Alexandra Kollontai. Promosinya sebagai kepercayaan ideal perempuan bermuasal dari “kerja kreatif” yang memuaskan perempuan. “Cinta bebas” dalam hal bahwa seks adalah pemberian dan diambil secara bebas dan tidak beraturan, bukanlah ide yang dipromosikan Kollontai. Ia, ingin melihat perempuan mampu untuk menikmati kegiatan perkawinan tanpa gangguan dari kedekatan emosi.

Konsep ini, ketika sudah lebih berkembang, menjadi terlalu radikal, bahkan untuk seorang seperti Lenin. Perkawinan tidaklah stabil dalam Uni Soviet yang masih baru. Kollontai telah mengangkatnya ke tempat yang bergengsi dalam Partai, karena jabatannya sebagai Menteri (Commissar) Kesejahteraan Sosial dan anggota Komite Eksekutif Soviet. Ketika ide-idenya berbeda dari Lenin, maka Lenin mulai menganggap Kollontai sebagai gangguan. Citranya kelewat terlalu dikenal publik untuk diserang secara terbuka, maka sebagai gantinya Kollontai ditempatkan sebagai duta besar untuk Norwegia. Pada sisa hidupnya dia banyak mengisi pos-pos diplomatic, suaranya dibisukandan termarjinalkan di Uni Soviet. Ketika Stalin memegang tampuk kekuasaan, peran domestik perempuan meningkat. Dengan rencana industrialisasi yang rigid dan  permohonan yang agak dogmatis untuk kemajuan melalui perjuangan nasional, perempuan terpanggil untuk prokreasi untuk bangsa, bagi kejayaan Uni Soviet. Ketika Stalin menyapu bersih Partai dari mereka yang dianggap pembelot, menjadi jelas bahwa ide-ide Kollontai tidak dapat diterima lagi di Rusia. Stalin bukanlah orang yang dapat ditentang.

Determinasi dan semangat Alexandra Kollontai tidaklah dapat diabaikan. Walaupun ia mungkin tidak menyadarinya ketika ia hidup, ia telah membuat langkah besar dalam pencarian jawaban atas Pertanyaan Perempuan. Para feminis, apakah mereka sosialis atau bukan, tidak dapat menyangkal kekuatan buah pikirannya. Mobilisasi Kollontai atas pekerja perempuan dan diagnosisnya terhadap efek cinta romantis atas perempuan dan masyarakat adalah pelopor di masa itu dan masih valid berlaku sampai sekarang. Tanpa Alexandra Kollontai lensa untuk melihat  di mana masyarakat menguji hubungan antara perempuan dan laki-laki akan sangat berbeda. Hasil kerja Kollontai yang terus menjadi bahan studi adalah kesaksian dari kekuatannya.***

Bibliography

  • Braun, Tina. “Peace Profile: Alexandra Kollontai.” Peace Review. (June, 1998)
  • Kollontai, Alexandra. Love of Worker Bees. (Chicago 1978)
  • Palencia, Isabel. Alexandra Kollontai: Ambassadress from Russia. (New York 1947)
  • Porter, Cathy. Alexandra Kollontai: The Lonely Struggle of the Woman who Defied Lenin. (New York, 1980)
  • Slaughter, Jane and Kern, Robert. European Women on the Left: Socialism, Feminism, and theProblems Faced by Political Women, 1880 to the Present. (London, 1981)
  • Alexandra Kollontai Image Gallery at: http://www.marxists.org/archive/kollonta/images/index.htm

******

THE MENSHIVIK, BOLSHEVIK, STALINIST FEMINIST

(Feminis Menshivik, Bolshevik, dan Stalin)

Oleh Simon Karlinsky, mengajar sastra rusia pada Universitas California di Berkeley, diterbitkan 4 Januari 1981

Jika saja seseorang memberitahukan kepada Alexandra Kollontai sekitar tahun  1910 bahwa ada sebuah buku tentangnya dengan judul “Feminis Bolshevik”, ia pasti akan  tercengang. Sebagai pendukung faksi Menshevik dari Marxist Rusia sebelum Perang Dunia I, Kollontai semula menentang kelompok  Bolshevik – Lenin, dengan kampanye mereka tentang revolusi melalui konspirasi dan kekerasan. Ia juga ditentang selama tahun-tahun gerakan Rusia dan internasional feminis, yang melihatnya sebagai usaha perempuan borjuis untuk mengalihkan energi dari perjuangan menuju revolusi proletar yang akan datang. Namun, sepuluh tahun kemudian, Kollontai menjadi anggota Komite Sentral Bolshevik yang melancarkan Revolusi Oktober, kedudukan tertinggi yang diraih perempuan dalam pemerintahan Soviet yang pertama dan advokat yang fasih tentang kesetaraan sosial dan kesetaraan seksual bagi perempuan.

Agak terlupakan menjelang kematiannya di tahun 1952, Kollontai belakangan menjadi obyek dari penemuan kembali di Uni Sovyet. Para pembuat biografinya dan para penyunting yang mensensornya menerbitkan kembali tulisan dan bukunya dengan meminimalkan perannya dalam Menshevik di masa lalu, pertentangannya dengan Lenin dan ketertarikannya akan kebebasan seksualitas. Mereka lebih menekankan kepada loyalitasnya ke Bolshevik dan karir diplomatiknya di era Stalin. Dengan meningkatnya ketertarikan akan isu feminisme dan Marxisme di Barat, penemuan kembali Kollontai dapatlah diramalkan. Sepanjang tahun 1970-an tulisan teoritis Kollontai diangkat kembali dalam bentuk terjemahan baru oleh berbagai penerbit di  Jerman Barat, Inggris dan Amerika Serikat. Cassandra Editions di Chicago telah menerbitkan koleksi tulisan fiksi Kollontai, ”Love of Worker Bees” (Cinta dari Lebah Pekerja). Sekarang kita punya tiga biografinya dalam bahasa Inggris, yang mencari, dengan berbagai derajat keobyektifan, untuk menggambarkan peran sejarah Kollontai dan untuk menempatkan ide dan pengalamannya secara tepat ke tren hidupnya feminis baru di alam demokrasi barat. Dua orang penulis biografinya, Barbara Evans Clements dan Beatrice Farnsworth, adalah dosen sejarah di universitas di Amerika (Akron University dan Wells College). Sedangkan Cathy Porter adalah cendekia lepas yang berdiam di London.

Radikalisasi Alexandra Kollontai dalam tahun-tahun terakhir dari Abad 19 diikuti oleh pola yang tipikal bagi rusia di eranya, tetapi tidak  dikenal di dunia barat  sampai sekarang. Alexandra Kollontai lahir dari keluarga aristokrat dan kaya di tahun 1872. Ayahnya, seorang jenderal dalam tentara Tsar, secara rahasia membiayai pendidikannya tentang Marxisme di Zurich dan kemudian membantu menyembunyikan leaflet revolusioner illegal dari polisi. Suaminya,Vladimir Kollontai, seorang militer (Ia membawa nama suaminya sampai akhir hidupnya),   setuju untuk mengakhiri perkawinan mereka yang singkat dan mengasuh putra mereka ketika Alexandra memutuskan untuk menjadi revolusioner sepenuhnya dan mengabdikan dirinya  untuk menghancurkan keistimewaan-keistimewaan dari kelas di mana ia dilahirkan. Tidak seperti perempuan revolusioner kelas atas  lainnya, Kollontai tidak pernah melepaskan perilakunya yang elegan dan pakaian-pakaiannya yang penuh gaya. Baju bulunya yang terbungkus rapi, dan tipe topi ”My Fair Lady”-nya yang kelak akan sangat kontras dengan aktivitasnya sebagai Komisaris Rakyat untuk Kesejahteraan Sosial (People’s Commissar of Social Welfare) dan retorika Leninnya yang membakar.

Karir politik kollontai dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: Menshevik, Bolshevik dan Stalinist. Masa Mensheviknya dengan rapi dirangkum dalam bab  yang berjudul Heckling the Feminist di dalam buku karya Cathy Porter. Selama enam dekade sesudah revolusi Oktober, gerakan feminist di Russia mengalami evolusi yang kompleks dan menghasilkan capaian-capaian yang mengagumkan.

Pertengahan abad 19 khotbah George Sand tentang setiap hak perempuan untuk pemenuhan persolan dan oleh John Stuart Mill mengenai lembaga-lembaga keluarga yang memperbudak perempuan di lahan subur di Rusia. Serial tulisan pertama yang didedikasikan untuk pembebasan perempuan (tetapi ditulis dan disunting oleh laki-laki),  The Dawn (Rassvet), terbit di 1859. Dalam dekade paska reformasi 1860-an, terdapat komunitas perempuan di setiap kota-kota utama. Partisipasi mereka untuk mencari  kehidupan yang produktif dan bermakna di luar struktur keluarga dan sosial yang ada. Perempuan penuh energi dan informasi seperti Maria Trubnikova, Anna Filosofova (Sergei Diaghilev adalah kemenakannya) dan kemudian  Countess Sophia Panina oposisi pemerintah untuk mendukung akses perempuan atas pendidikan tinggi serta meningkatkan kondisi kehidupan dari perempuan pekerja di pabrik. Melewati abad 19, perempuan rusia melalui pendidikannya sampai tingkat universitas, memasuki lapangan kerja medis dan lapangan kerja profesional lainnya, mengorganisir gerakan koperasi dan terlibat dalam berbagai macam kegiatan yang tidak pernah terbayangkan oleh dunia barat yang melihat era sebelum revolusi di rusia hanyalah sebatas kerajaan tsar dan  teroris. Dengan dukungan dari seluruh partai politik sesudah revolusi 1905, hampir semua partai radikal dan liberal menempatkan persamaan perempuan sebagai salah satu platform mereka. Kenaikan gerakan feminis Rusia meraih titik tertingginya ketika satu bulan sesudah runtuhnya dinasti Romanov, pemerintahan propinsi dibawah Alexander Kerensky memberikan hak sipil dan politik penuh bagi perempuan, termasuk hak suara. (ini terjadi beberapa tahun sebelum perempuan di Amerika mendapatkan hak suaranya).

Feminis rusia memiliki dua musuh tangguh: kaum reaksioner kanan, yang percaya bahwa tempat perempuan adalah di rumah; dan gerakan marxis. Akar dari segala penindasan, menurut pendukung marxis adalah ekonomi. Kaum proletar, baik laki-laki maupun perempuan, dieksploitasi oleh kaum borjuis, dan revolusi proletar akan menyudahi eksploitasi itu. Sebelum revolusi, setiap kepedulian mengenai kesetaraan perempuan, setiap usaha untuk memperjuangkan hak perempuan atas hak pilih, kesempatan kerja yang setara  atau kesempatan meraih pendidikan tinggi terpecah  dan kontra-revolusi. Dalam area ini, pendukung marxis di Rusia mengikuti contoh dari temannya di Jerman. Ketika di tahun 1901, tokoh Marxis jerman Lily Braun menerbitkan bukunya ”Die Frauenfrage,” di mana dia bicara melebihi masalah-masalah ekonomi dan menganalisa penindasan perempuan sebagai seks, Ia dicela oleh  Clara Zetkin dan dikeluarkan dari gerakan marxis internasional. Kontribusi Alexandra Kollontai kepada kampanye anti-feminis yang dilancarkan kaum marxis adalah mitranya dari kelompok perempuan pekerja yang mengganggu kongres nasional feminis rusia dengan meneriakkan slogal-slogan dan publikasi di tahun 1909 dalam bukunya yang berjudul “Basis-basis Sosial dari Pertanyaan Perempuan (”The Social Bases of the Woman Question,’), sebuah buku 400 halaman yang berisi kecaman tajam mengkritisi para pemimpin dari gerakan feminis.

Tahap Bolshevik Kollontai dimulai ketika ia membuat pembedaan dengan Lenin di tahun 1915, persesuaian terjadi  ketika mereka bergabung selama Perang Dunia I. Ketika revolusi liberal demokratik terjadi di bulan Pebruari 1917,  Kollontai adalah murid dari Lenin.  Untuk beberapa tahun ke depan, kehidupannya penuh dengan aktivitas. Sebagaimana penuturan oleh para penulis biografinya yang memiliki kedipan-kedipan dari film melodrama bisu. Kollontai sempat dipenjara sesaat oleh pemerintah provisional. Ia terlibat dalam keputusan Lenin dan Trotsky untuk mendapatkan kekuasaan dan mendapat ganjaran kedudukan di tingkat paska-kabinet (Sophia Panina menjadi Menteri Kabinet dalam Pemerintah Provisional, sehingga kelompok  Bolshevik merasa mereka tidak dapat melakukan apapun). Kollontai memimpin detasemen dari pelaut revolusioner dalam menduduki biara Alexander Nevsky yang dimuliakan di  Petrograd, sebuah aksi yang ditetapkan sebagai persekusi bagi penganut religius yang merupakan gambaran umum kehidupan Soviet sampai sekarang.

Di tengah itu semua, pada usia 45 tahun Kollontai menikahi pelaut tinggi besar berusia 28 tahun, Pavel Dybenko (Pemimpin Bolshevik bereaksi atas perbedaan usia mereka seperti pelaku gosip kampungan). Kemudian  Dybenko menghadapi tuntutan pengadilan karena desersi, atas bantuan Kollontai nama Dybenko dapat dibersihkan, kemudian pasangan ini memulai serial perjalanan yang fantastis melewati perang sipil yang memecah Rusia Selatan yang diantaranya juga membuat perkawinan mereka tercerai-berai. (Kollontai menggambarkan hubungan romannya dalam sebuah kunci musik (clef), ”Vasilisa Malygina.”)

Itu adalah masa ketika Kollontai mulai berkonsentrasi untuk mengamankan hak-hak kesetaraan dan sejumlah kecil kekuasaan untuk perempuan. Namanya sering dihubungkan dengan perkembangan yang disambut gembira di tahun-tahun itu dengan legalisasi aborsi, akses ke perceraian, perlindungan kehamilan dan kelahiran dan pendirian biro khusus dari partai komunis untuk mengorganisir dan mengindoktrinasi perempuan,  Zhenotdel.[8]

Ketiga biografi ini mencantumkan dokumentasi yang memilukan dari kekejian pemimpin laki-laki Bolshevik kepada setiap program, peraturan atau organisasi yang ditujukan khususnya bagi kepentingan perempuan,  dari keutuhan konstan Kollontai dan perempuan lainnya dalam hierarki Bolshevik untuk berpura-pura bahwa kepedulian mereka akan isu perempuan tidak ada hubungannya dengan ideologi yang merendahkan feminis sebagai ‘para peminta persamaan hak”. Jadi, aborsi dilegalkan hanya sebagai ukuran sementara, untuk memenuhi kebutuhan perang sipil; legalisasi secara terbuka dinyatakan untuk melayani kepentingan kolektif, bukan untuk kepentingan individual perempuan yang membutuhkan sebuah aborsi. Tidak ada ilustrasi yang lebih baik dari warga Negara kelas-dua ini dalam masyarakat baru ini daripada cerita bagaimana kantor-kantor Zhenotdel harus dipindahkan ke pojok terpencil dari gedung pusat partai,  sehingga ‘keberisikan’ perempuan tidak mengganggu kawan (comrade) laki-lakinya ditengah-tengah kerja penting mereka.

Seharusnya ini memang tidak perlu diperdebatkan bagi mereka yang familiar dengan kebencian Lenin akan perempuan (misogini). Ketika Lenin dapat menulis  secara mengesankan tentang eksploitasi ekonomi terhadap perempuan, dia juga meminta istrinya dan mertua perempuannya untuk melayani kepentingan dia sepenuhnya. Dalam surat-suratnya, ‘berpikir seperti perempuan’ atau ‘beraksi seperti perempuan’  adalah tuduhan terburuk yang dapat ia lontarkan kepada laki-laki lainnya. Pandangan Lenin tentang partisipasi perempuan dalam proses politik dapat dilihat dari perilakunya di Konferensi Internasional Perempuan Sosialis, yang diadakan di Bern tahun 1915. Sebagaimana diterangkan oleh Beatrice Farnsworth, Lenin secara eksklusif memilih delegasi dari perempuan Bolshevik, dipimpin oleh istrinya, Nadezhda Krupskaya, dan kekasihnya, Inessa Armand, menulis kertas-kertas posisi dan pidato. Dan dari meja dekat restauran menginstruksikan mereka apa yang harus mereka sampaikan dalam konferensi itu. Seorang feminis liberal Ariadna Tyrkova, teman sekolah Krupskaya, diberitahukan oleh Lenin bahwa ketika Lenin mendapatkan kekuasaan, Lenin ingin melihat bahwa orang seperti tyrkova digantung di lampu-lampu jalanan. Surat-surat Lenin kepada Inessa Armand dan percakapannya dengan Clara Zetkin menunjukkan bahwa Lenin memandang bahwa kebebasan seksual itu menjijikan.

Perkiraan Kollontai adalah bahwa ia dan perempuan lainnya dapat menjalankan kekuasaan politik yang riil dalam pemerintahan Soviet,  ketidakpeduliannya tentang  standar ganda  seksual dan persistensinya bahwa masyarakat Soviet diubah menjadi utopia sosialis dengan mengabaikan harga kemanusiaan yang terikat untuk berbentrokan dengan pandangan Lenin dan Trotsky. Utopia kollontai diinspirasikan bukan dari sumber-sumber Marxist, tetapi dari sekuel mimpi yang terkenal dalam novel Nikolai Chernyshevsky’s di tahun 1863 yang berjudul ”What Is to Be Done?” (Apa yang Harus Dilakukan?) -novel yang mempengaruhi gerakan revolusioner rusia secara keseluruhan tidaklah dapat terhitung. Chernyshevsky menggambarkan masyarakat yang ideal di masa datang, di mana seluruh masalah sosial dan personal dapat dipecahkan dengan  merumahkan seluruh populasi dalam asrama-asrama pendidikan, memberi makan mereka dalam ruang makan komunal, memelihara para anak dalam pemeliharaan komunal dan berbagi semua pekerjaan. Ini, bagi Kollontai, adalah esensi dari komunisme. Chernyshevsky memperkirakan utopianya akan berkembang setelah beberapa abad; tetapi Kollontai, dalam gaya Bolshevik, menginginkan segera terjadi.

Selama kesusahan dan kekurangan di era perang sipil, penguasa Soviet telah mencoba untuk memperkenalkan institusi kolektif ini. Tetapi ruang-ruang makan komunal menyajikan makanan yang buruk,  tempat cucian komunal mencuci pakaian robek, dan dalam tempat – tempat pengasuhan anak ala Bolshevik malah mengakibatkan anak-anak mati kelaparan (semisal anak perempuan dari penyair Marina Tsvetaeva). Kollontai tidak begitu peduli dengan penderitaan kemanusiaan seperti ini. Dia mendukung mobilisasi buruh paksa oleh Trotsky (yang mana bahkan beberapa kaum Bolshevik menyebutnya sebagai bentuk baru dari perbudakan) karena perempuan dimobilisasi bersama dengan laki-laki dan dikelompokkan ke dalam unit-unit buruh, di mana ia meyakini akan meningkatkan kesadaran mereka. Kollontai menentang Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy/NEP) yang dicanangkan Lenin, yang telah menyelamatkan negara dari bahaya kelaparan dengan menghentikan surat perintah brutal yang meminta gandum dan ternak dari petani dan membolehkan petani untuk menarik bayaran atas apa yang telah mereka produksi. Bagi Kollontai, ini malah menguntungkan para petani atas proletariat urban.

Konfrontasi besar Kollontai dengan para pemimpin partai terjadi di bulan Januari 1921 atas apa yang dikenal sebagai Oposisi Pekerja. Seperti banyak hal di Uni Soviet, ini tidaklah mencerminkan apa yang tersirat dari penamaan itu. Itu adalah penawaran dari sekelompok fundamentalis dalam Bolshevik, dipimpin oleh Kollontai, untuk memaksa Lenin untuk menerapkan utopia Marxist-Chernyshevskian. Diantara tuntutan mereka adalah penutupan NEP, kolektivisasi dari pertanian, pelucutan industri dari ahli yang dilatih keteknologian sebelum revolusi (karena berpotensi sebagai mata-mata), dan pengusiran dari partai komunis terhadap siapapun yang tidak berasal dari kelompok proletar. Tidak satupun dari penulis biografi yang baru menyampaikan  keirasionalan dan kekejaman yang utuh dari program yang diajukan Kollontai ini. Dengan persepsi, program ini dapat dibaca sebagai kombinasi antara revolusi budaya di Cina dan di Kamboja di bawah rezim Pol Pot.

Setelah kekalahan Oposisi Pekerja, Kollontai dikirim ke pengucilan terhormat ke luar negeri sebagai duta besar Soviet, pertama untuk Norwegia dan kemudian untuk Swedia. Tulisan-tulisannya tentang kesetaraan seksualitas perempua dan kecintaanya akan fiksi di  awal 1920-an, yang mencerminkan pengalaman kehidupan seksnya yang tidak  konvensional ketimbang realitas di Soviet, segera saja mendiskreditkan dirinya dalam kampanye ke media yang dikembangkan oleh Krupskaya. Ironisnya, pada saat yang bersamaan mereka sama-sama menunjukkan minat oleh psikologis dan sosiologis asing sebagai bukti dari hak-hak yang belum terjadi sebelumnya dan kebebasan seksualitas yang dinikmati oleh perempuan dalam sistem Soviet.

Sejak tahun 1923, Kollontai tidak lagi menunjukkan kepedulian feminisnya. Sampai akhir karirnya, ia loyal kepada Stalin. Dia tidak keberatan atas peraturan yang patriarkal di tahun 1926 dan Konstitusi 1936, yang menekan perempuan Soviet dari  berbagai capaian yang didapat sesudah revolusi februari dan oktober. Dia menulis-ulang sejarah dan memalsukan perannya dalam memoarnya di tahun 1930-an. Dia tidak protes ketika mantan suaminya, mantan kekasihnya dan beberapa kawan lamanya dibantai dalam rangka pembersihan organisasi. Kolektivitas petani yang brutal yang mengirim jutaan petani ke kamp Gulag, dan menjebak banyak ahli teknis sebagai mata-mata asing, padahal hal itulah yang diperjuangkan Kollontai di tahun 1921 dahulu.

Beatrice Farnsworth adalah sejarawan terlatih, yang tulisan-tulisannya mengenai topik Soviet saya kagumi. Tujuan dari bukunya mengenai Kollontai, sebagaimana disebutkan sejak awal, adalah ”untuk meyakinkan para pembaca bahwa Bolshevisme awal berbeda secara kuantitatif dari Stalinisme yang datang kemudian.”  Untuk mencapai ini,  Professor Farnsworth mendasari biografinya utamanya dari tulisan-tulisan Kollontai sendiri, memoir Krupskaya dan majalah-majalah perempuan di masa awal Soviet. Ini seperti menulis sejarah perbudakan di Amerika berdasarkan memoar dari para pemilik perkebunan. Buku ini menghilangkan seluruh pencapaian feminis rusia selain Kollontai sebagai pekerjaan dari ”philanthropists and patronesses.” Pujian tentang “Borjuis” digunakan dalam hampir setiap halamannya untuk mematahkan setiap orang yang tidak disepakati atau disukai Kollontai. Untuk masa terakhir karir Kollontai, Professor Farnsworth mencoba untuk mengubahnya menjadi pemberontak dan anti-Stalinist.

Sekarang, tidak seperti Bolsheviks tua yang ada di kekuasaan Stalin di Moscow, Kollontai terselamatkan di perumahannya yang mewah di Stockholm semasa pengucilannya. Walaupun demikian, dia tetap mendukung segala sesuatu yang dilakukan Stalin. Ini hanya dapat diartikan bahwa dia setuju dengan Stalin. Dengan ketiadaan perspektif moral yang mengejutkan,  Professor Farnsworth berusaha membangun simpati pembaca untuk Kollontai, salah satu arsitek orisinil dari sistem soviet, dengan melakukan perbandingan tiada berarti antara takdir Kollontai dengan takdir penyair Anna Akhmatova, salah seorang korban tragis dari sistem yang dibangun. Citra yang dibangun oleh buku ini adalah bukan Kollontai sebagaimana dia adanya, tetapi Kollontai yang diinginkan Professor Farnsworth. Ini diperkuat dengan spekulasinya bahwa Kollontai kemungkinan akan mempunyai perasaan akan isu-isu tertentu atau atas kejadian itu, atau membayangkan Kollontai bisa melakukan ini (walau nyatanya tidak).

”Bolshevik Feminist,” oleh Barbara Evans Clements, adalah salah satu dari tiga biografi yang secara faktual dapat diandalkan dan secara sejarah obyektif. Professor Clements cenderung melihat Kollontai melalui gelas kaca mungil untuk menaruh bunga mawar; tetapi, tidak seperti mereka, Barbara Evans mendasari tulisannya dengan fakta-fakta. Dia beranjak jauh di atas penulisan Bolsheviks dan pemujaannya untuk sumber-sumber tulisannya dan ia menyadari bahwa tulisan-tulisan Kollontai sendiri sering tidak berdasar. Kollontai digambarkan sebagai simpatetik (dalam pandangan saya, kadang berlebihan), tetapi tidak dalam bentuk pemujaan yang berlebihan,  juga bukan dengan sengaja didistorsikan. Dalam menggambarkan dua episode kunci dari kehidupan Kollontai,  pendudukan monastery Alexander Nevsky dan Oposisi Pekerja, ini adalah buku satu-satunya dari tiga buku yang menceritakan kepada pembaca apa yang sebenarnya terjadi.

Karena fokusnya, tak satupun dari buku ini dapat memberikan perhitungan yang tepat tentang isu feminisme di Rusia sebelum dan sesudah revolusi. Kebanyakan dapat dipelajari dari buku yang berjudul ”Women in Soviet Society,” (Perempuan dalam Masyarakat Soviet) oleh Gail Warshofsky Lapidus (University of California Press, 1978), yang saya baca bersamaan dengan tiga biografi ini. Sebuah perlakukan yang adil kepada subyek, ini juga contoh dari sejarah feminis yang paling informatif dan berharga.

Setelah cukup lama saya menaruh hormat kepada Alexandra Kollontai akan kekuatan dan reputasinya sebagai feminis dan pembebasan seksual, Saya terperangah ketika membaca tiga biografi ini dan kemudian mengecek beberapa sumber mereka membuat saya tidak menyukai Kollontai. Bertentangan dengan keinginan para penulis, buku-bukunya menunjukkan bahwa feminisme Kollontai tidak bersahabat  bagi kebanyakan perempuan (seperti petani atau kaum intelektual), didasarkan atas paksaan, dan dicerca atas kegagalan karena Kollontai membiarkan dirinya digunakan oleh kaum pria di mana retorik feminis menjadi alat untuk mendapatkan dan memperluas kekuasaan mereka. Gerakan perempuan barat modern, yang dijalankan oleh perempuan, mentoleransi perbedaan dan mencari untuk mendapatkan tujuannya melalui cara-cara non kekerasan, telah memiliki kesamaan bersama dengan figur feminis Rusia seperti Anna Filosofova atau Ariadna Tyrkova ketimbang fanatisime totalitarian Kollontai.[9]

***


[1] Cathy Porter, Alexandra Kollontai: The Lonely Struggle of the Woman who Defied Lenin, (New York, 1980)

[2] Brosur iklan salah satu kuliah Kollontai, sebagaimana dilihat dalam “Alexandra Kollontai Image Library,” http://www.marxists.org/archive/kollonta/images/ap21915.htm

[3] Cathy Porter. Alexandra Kollontai: The Lonely Struggle of the Woman who Defied Lenin. (New York, 1980)

[4] Cathy Porter. Introduction to her translation of Kollontai’s Love of Worker Bees. (Chicago, 1978)

[5] Cathy Porter. Alexandra Kollontai: The Lonely Struggle of the Woman who Defied Lenin. (New York, 1980)

[6] Alexandra Kollontai. Love of Worker Bees. (Chicago, 1978)

[7] Ibid

[8] Zhenotdel adalah Seksi Perempuan dari Komite Sentral Partai Komunis  (1919 – 1930). Sementara Komite (The Central Committee) adalah lembaga tertinggi di Partai Komunis Uni Soviet (CPSU).  Komite Sentral mengatur seluruh partai dan memerintah kegiatan antara Kongres Partai. Anggota Komite dipilih di dalam kongres setiap lima tahun sekali. (ditambahkan oleh penyunting).

[9]htp://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?res=9E00E6D6163BF937A35752C0A967948260&sec=&spon=&pagewanted=1


Komentar Via Facebook

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here