Beranda Referensi

Per(empoe)an

557
BERBAGI
Nurhajar Setyowati
Nurhajar Setyowati

Ini sekadar tulisan tentang penggunaan kata wanita, perempoean, kaum isteri, ataupun kaum iboe. Keempat kata itu sama-sama merujuk pada makhluk yang diberi karunia organ reproduksi, dan masing-masing dari keempat kata itu pernah mengalami masa jaya. Saya, selaku perempuan yang baru berusia seper-empat abad, alias belum sampai 3 dekade saya hidup, tentu lebih mengenali kata wanita terlebih dahulu tinimbang mengenal kata perempuan dalam kosakata sehari-hari. Maklum saja, kebanyakan perempuan Indonesia memang sempat terlalu lama mengakrabi kata “wanita”, terutama semasa Ibu Tien, perempuan berdarah Mangkoenegaran itu menjadi ibu negara. Usut punya usut, kata wanita memang kait mengait dengan mereka yang tergolong perempuan priyayi. Nah tentang ini, tentu saja mesti dituliskan pada posting-an yang lain.

Lantas begitu orde baru tumbang, nama-nama organisasi perempuan yang dahulu banyak menggunakan kata wanita (ini terutama berlaku pada organisasi yang berafiliasi dengan pemerintah) mulai berganti lidah dan berubah kata menjadi perempuan. Mereka yang mengidentifikasi pikirannya dengan ide bahwa makhluk beralat kelamin vagina ini layak bersetara ria dengan para lelaki, tentu saja memilih menggunakan kata perempuan, dan merasai kelu pada lidahnya bila mesti menyebut kaumnya dengan kata wanita. Sebaliknya, mereka yang mengidentifikasi dirinya selaku barisan anti kesetaraan akan merasa berdosa bila ikut-ikutan menyebut kata perempuan, mereka serasa takut dilaknat Tuhan.

Masing-masing penganut dua kata ini, tentu telah menyusun argumen untuk mengukuhkan pendiriannya, termasuk pengguna kata perempuan. Nah, bukan kebetulan bila peristiwa monumental yang diaku dalam pergerakan perempuan Indonesia ialah perhelatan yang diberi nama Kongres Perempuan Indonesia dan bukan Kongres Wanita Indonesia. Ketika itu orang lebih mengakrabi kata perempuan ketimbang kata wanita, bahkan kata kaum isteri maupun kata kaum ibu jauh lebih populer daripada kata wanita.

Buka saja dokumen-dokumen sejarah maupun koran-koran tua kisaran masa pergerakan nasional. Anda akan mendapati ketiga kata itu(perempuan, kaum ibu, kaum istri) lebih sering dikenakan daripada kata wanita. Coba anda perhatikan juga nama-nama organisasi perempuan masa pergerakan. Tak banyak yang mengunakan kata wanita, setidaknya tidak lebih banyak daripada nama-nama perkumpulan yang menggunakan kata perempuan, isteri, iboe, maupun poetri.

Yang kebetulan justru, bahwa saya menemukan tulisan perihal arti kata perempuan dan implikasi arti kata perempuan bagi kaum ibu Indonesia. Tulisan itu dimuat dalam surat kabar Njala, organ milik pengurus besar PKI, tertanggal 9 November 1925. Saya persilahkan anda menyimaknya :

Perempoean, asal katanya empoe, yang mendapat awalan per- dan akhiran -an. Empoe berarti Toean, ketua, pemberi nasehat, petunjuk, penolong atau pendek kata suatu kedudukan yang mesti dihormati. Empoe dalam bahasa Jawa berarti tukang bikin keris dan tidak sembarang orang bisa melakukannya karena mesti berilmu tinggi dan berhati suci. Empu berarti nama dari suatu pangkat yang besar dan mulia yang terdapat dari perbuatannya.

Awalan per- dan akhiran -an menerangkan suatu perbuatan, misal bantah-perbantahan, berarti nama dari perbuatan bantah-bantahan. Perempoean ialah nama dari perbuatan empu baik itu penolong, pemberi nasehat, dan penuntun. Perempoean berarti nama angkat yang harus dihormati dan dimuliakan karena perbuatannya. Lantas perbuatan apa yang harus dilakukan perempuan agar bersesuaian dengan arti kata empoe? Maka sekalian ibu mesti memberi tuntunan pada anak-anak supaya:

  1. Mengetahui harga dirinya.
  2. Tidak merongkong-rongkong dan menyembah-nyembah seperti budak belian.
  3. Mendidik anak-anak kita supaya punya darah satria.
  4. Mendidik anak-anaknya supaya cinta tanah tumpah darah, bangsa dan sesama hidup.
  5. Memberi tahu anaknya apa rasanya orang tertindas, dan membangunkan hati mereka agar punya keberanian hati menuntut hak sebagai manusia.
  6. Bangunkan hati mereka, supaya jangan lembek hati, dan menyerahkan nasib pada orang lain.

Apa komentar anda membaca tulisan yang telah dipublikasikan 82 tahun yang lalu?

(Dikutip dari : http://hajarns.blogspot.com)

Komentar Via Facebook

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here