Beranda Dinamika Gerakan

Memotong Rantai Kemiskinan Perempuan Petani

479
BERBAGI
Lely Zailani
Lely Zailani

Potongan Makalah Pada konferensi Nasional Perkumpulan Prakarsa

Tgl.08 Oktober 2014 di Jakarta

Oleh : Lely Zailani

FederasiHapsari: Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menjadi babak baru tumbuhnya otonomi daerah yang diharapkan menjadi pintu masuk bagi terwujudnya pembangunan yang lebih adil dan demokratis dengan partisipasi aktif seluruh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Otonomi daerah telah mendorong daerah-daerah (kabupaten/kota) melakukan pengembangan ekonomi lokal, melalui kemampuan memobilisasi serta memproduksi berbagai sumberdaya yang dimiliki untuk memperkuat daya saing pengembangan ekonomi daerah. Ini adalah proses dimana pemerintah lokal dan organsisasi masyarakat terlibat untuk mendorong, merangsang, memelihara, aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan.

Pengembangan usaha ekonomi lokal adalah konsep pengembangan kewirausahaan lokal, pengembangan unit-unit usaha komunitas warga, kerja sama pemerintah lokal dengan pihak swasta dan lembaga-lembaga lainnya termasuk organisasi masyarakat (perkumpulan, serikat, dll), dalam mengelola sumber-sumber yang potensial untuk mendorong aktivitas ekonomi. Dalam konteks ini, mengembangkan usaha di sektor pertanian dengan skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi di kalangan perempuan akar rumput adalah bagian sangat penting dari upaya pengembangan ekonomi lokal. Selain bentuk partisipasi nyata dalam pembangunan, apa yang dilakukan oleh perempuan dalam menjalankan usaha ekonomi tersebut sesungguhnya merupakan bentuk partisipasi ekonomi yang penting. Tidak hanya mengurangi tingkat kemiskinan pada diri perempuan sendiri, tetapi juga berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga dan mendorong pembangunan ekonomi daerah secara keseluruhan.

Spirit otonomi daerah adalah lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyat di daerah, (termasuk petani), karena pemerintah daerah telah memiliki kewenangan membuat kebijakan dan program pembangunan pertanian yang semakin fokus, menemukan komoditas unggulan sesuai potensi lokal, dan menemukenali beragam upaya inovasi untuk nilai tambah produk pertanian. Pemerintah termasuk pemerintah daerah mempunyai tanggungjawab memfasilitasi (membantu) tumbuh dan berkembangnya unit-unit usaha, termasuk usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh perempuan petani untuk dapat keluar dari belenggu kemiskinannya.

Petani memiliki kerentanan sangat tinggi untuk jatuh dalam kemiskinan di masa mendatang, meskipun sekarang ia belum jatuh miskin. Banyak resiko yang dihadapi petani yang seringkali tidak dapat diprediksi sebelumnya, diakibatkan berbagai faktor, diantaranya faktor alam (bencana; kekeringan, kebanjiran, gunung meletus, asap, dll) dan ketidak pastian berapa harga jual hasil panen yang akan diterima, karena terbatasnya akses dan informasi pasar. Tidak jarang terjadi kondisi memilukan ketika petani dengan tangannya sendiri menghancurkan tanaman yang hendak dipanen, karena biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih besar dibanding harga komunitasnya. Dan, dengan berlinang air mata atau suara pilu mereka katakan “mau bagaimana lagi…”.

Upaya Inovatif :
“Dari Hulu sampai Hilir, dari Kebun sampai Cangkir”

Salah satu upaya inovatif untuk memutus mata rantai kemiskinan sektor pertanian adalah konsep pembangunan “dari hulu sampai hilir, dari kebun sampai cangkir” untuk komuditas kopi, teh dan kakao, misalnya. Konsep ini dapat menjadi model Pengembangan Ekonomi Lokal dalam era otonomi daerah, dimana daerah dapat menyusun strategi pembangunan inklusif, yang diartikan sebagai pembangunan yang mengikutsertakan dan sekaligus memberi manfaat kepada seluruh masyarakat. Sebagaiamana strategi pembangunan untuk percepatan penghapusan kemiskinan, pembangunan yang inklusif juga penting dipahami dalam konteks kewilayahan. Setiap daerah di Indonesia dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan sumber daya dan komoditi unggulan yang berbeda. Perekonomian daerah ini akan berkontribusi membentuk karakteristik perekonomian nasional kita. Konsep pengembangan ekonomi lokal dengan demikian menjadi penting untuk memperkuat ekonomi domestik yang pada akhirnya memutus mata rantai kemiskinan sektor pertanian dan kemiskinan perempuan.

Pengalaman Bersama Perempuan Petani di Kulon Progo

Implementasi konsep ini diterapkan HAPSARI dalam konteks kerja pengorganisasian perempuan petani di kabupaten Kulon Progo. Melalui Koperasi yang mengelola Unit Usaha Kopi misalnya, pengorganisasian petani kopi untuk mendapatkan bahan baku dilakukan oleh serikat petani. Tetapi unit usaha produksi dan manajemen (pengolahan produk, pengemasan, promosi dan pemasaran) dikerjakan oleh Koperasi. Advokasi untuk mendapat dukungan kebijakan pengembangan usaha ekonomi perempuan dilakukan oleh HAPSARI bersama serikat perempuan anggotanya.

Jogyakarta sangat dikenal sebagai daerah wisata dengan banyak produk dan hal menarik, mulai dari “Gudeg, Bakpia, Keraton, Malioboro, Parang Tritis dan Nyi Roro Kidul, hingga Merapi dengan Mbah Marijannya”. Ternyata tak hanya itu. Ada produk istimewa lainnya di Jogyakarta, yaitu Kopi. Daya tarik Jogya; Keraton dan Kopi telah menjadi “magnet” tersendiri yang membawa langkah HAPSARI sampai di bumi Nyi Ageng Serang (Kulon Progo). Sejak tahun 2010 HAPSARI memfasilitasi berdirinya Serikat Perempuan Independen (SPI) kabupaten Kulon Progo yang kini menjadi serikat anggota HAPSARI.

GKR.Hemas memeriksa produk Kopi HAPSARI
GKR.Hemas memeriksa produk Kopi HAPSARI

Tahun 2012 HAPSARI bersama SPI Kulon Progo mendirikan Koperasi Serba Usaha (KSU) HAPSARI yang telah memiliki badan hukum. Salah satu program Koperasi adalah Unit Usaha Pengolahan Kopi dan Teh. Setiap musim panen, Koperasi HAPSARI membeli kopi biji kering (green beans) petik merah jenis Robusta dan Arabica langsung dari petani anggota SERTANI (Serikat Tani), mengolahnya menjadi kopi siap giling (roasting) dan siap seduh (powder) serta mengemasnya dalam kemasan menarik, dengan merek : “JAVA MENOREH”. Telah mendapat Sertifikat Produk Pangan Industri Rumah Tangga (SPP – IRT) dari Dinas Kesehatan Kulon Progo, dengan Nomor : 5103401010025-18 (Tanggal 23 Januari 2013).

Melalui Koperasi, HAPSARI mengembangkan bisnis kooperatif (kolektif) untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan anggotanya dari keuntungan bisnis yang diperoleh. Tujuan utama dari bisnis ini adalah : mengembangkan unit usaha yang sudah ada menjadi bisnis yang lebih terukur, mengajak para pihak untuk mendukung pengembangan bisnis ini, antisipasi perkembangan ke depan (tantangan dan peluang yang tersedia), serta mengelola laba dan pengembangan asset yang sudah dimiliki.

Pilihan nama “Menoreh” pun bukan tanpa alasan. Ini adalah sebuah “penghormatan” kepada para petani Kopi di perbukitan Menoreh kabupaten Kulon Progo Jogyakarta dimana sebagian diantara mereka adalah perempuan; anggota SPI Kulon Progo. Ini juga upaya pembuktian komitmen untuk mensejahterakan masyarakat (petani), terutama perempuan petani. Berkembangnya bisnis Kopi ini memungkinkan Koperasi HAPSARI untuk meningkatkan jumlah pembelian bahan baku Kopi dari petani kecil di perbukitan Menoreh dengan harga beli yang lebih layak karena dapat menjual lebih banyak produk kepada konsumen. Situasi makro cukup menunjang. Pemilu legislatif dan pemilu presiden berlalu sudah walau masih sedikit menyisakan ketidakpuasan, tapi kepastian atas presiden dan pemerintahan yang akan datang sudah jelas. Ekonomi diperkirakan akan tumbuh 6-7% per tahun. Terbit pula UU Desa yang memberikan peluang “partisipasi” warga dalam mengelola unit usaha ekonomi, melalui proses bersama dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. Situasi mikro juga mendukung, melalui pemerintahan dr.Hasto Wardoyo sebagai Bupati Kulon Progo yang mewacanakan kebijakan “Bela dan Beli Kulon Progo” telah memberi iklim kondusif bagi berkembangnya produk-produk lokal, serta pemasarannya.

Produk Kopi yang mulai dijual oleh Koperasi HAPSARI
Produk Kopi yang mulai dijual oleh Koperasi HAPSARI

Peluang inilah yang dimanfaat dan dikelola dalam pendekatan dan strategi baru, kerja-kerja pengorganisasian dan advokasi yang dilakukan HAPSARI. Inovasi adalah ketika kata “lawan” yang pernah sangat “sakti” digunakan dalam menggerakkan perempuan berhadapan dengan negara dan kebijakan yang menindas, dirubah menjadi “kerjasama” atau “kemitraan” antara organisasi masyarakat sipil dengan kalangan pemerintahan lokal, mulai dari tingkat dusun, desa, kecamatan, dan kabupaten.

Pilihan ini melahirkan konsekuensi pilihan “berdialog” sebagai media demokrasi. Dengan latar belakang sejarah “perlawanan” terhadap rejim otoriter orde baru yang menyebabkan HAPSARI bertumbuh, dan kini sebagai organisasi sosial yang bersifat memberdayakan HAPSARI mulai fokus pada pengembangan social entrepreneurship – Kewirausahaan Sosial. Pendekatan Sosial Entrepreneurship (Kewirausahaan Sosial) bagi HAPSARI menjadi sesuatu yang inovatif; menyangkut semangat dalam perspektif kewirausahaan sosial, konsep bisnis dengan persepsi sosial yang berorientasi pada profesionalitas dan penerapan GCG (Good Corporate Governance/tatakelola perusahaan yang baik) serta bagaimana menembus pasar dan menggunakan analisa untuk memperoleh pasar.

Hasil nyata yang membanggakan antara lain;

  1. Satu komunitas warga di Dusun Keceme, puncak Suroloyo kecamatan Samigaluh kabupaten Kulon Progo Yogyakarta, saat ini menjadi satu tempat yang dicari, karena satu komuditas pertaniannya (kopi) mulai dikenal luas sebagai produk unggulan daerah Kulon Progo. Puncak Suroloyo sendiri telah ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata oleh pemkab Kulon Progo, tetapi ketika berkunjung ke sana, orang juga mulai mencari kopi dan teh.
    – Bagi HAPSARI, aspek wisata tidak melulu view (pemandangan) yang dijual dan menghasilkan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) melalui retribusi. Konsep wisata juga terkait tata kelola sumberdaya alam (lahan, kebun, komuditas pertanian) dan menjadikan komunitas masyarakat tumbuh sebagai subyek yang memiliki kebanggaan terhadap daerahnya, bukan malah tersingkir oleh konsep pembangunan wisata modern, sebagaimana konsep pertanian modern menyingkirkan masyarakat lokal.
  2.  Yang paling membanggakan bagi HAPSARI, ketika para petani dan perempuan petani kopi percaya diri “menentukan harga jual kopi” hasil panen mereka, sesuai dengan standar harga yang disepakati bersama Koperasi HAPSARI. “Ini jenis kopi arabika dan petik merah, dengan fermentasi kering. Jadi harganya lebih tinggi dari harga pasar,” begitu katanya dengan percaya diri.
    – Selain penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat melalui pembangunan organisasi (serikat perempuan), juga dilakukan pelatihan-pelatihan untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam mengelola bisnis. Sehingga para petani dan perempuan petani belajar tentang tata kelola produksi, mulai dari budi daya, panen hingga pasca panen.
    – Kapan saja mereka memiliki kopi hasil panen petik merah dan seberapapun banyaknya, selama ini selalu ditampung oleh Koperasi HAPSARI.
    – Saat ini, komoditas kopi dari petani di wilayah puncak Suroloyo telah diwacanakan sebagai produk unggulan daerah kabupaten Kulon Progo. Menjadi produk yang mengisi stand-stand pameran yang diselenggarakan oleh Dinas Koperasi, juga mengisi “keranjang parcel” pemerintah daerah ketika lebaran tiba.
  3. Kawasan Puncak Suroloyo yang sejak puluhan tahun lalu memiliki mitos “negeri para dewa” dalam dunia pewayangan (lakon Semar mBangun Kahyangan) membangun konsepnya sendiri sebagai “wisata berbasis komunitas dan budaya”.
    – Sebuah konsep yang telah menggerakkan banyak dukungan dari relawan; mulai dari menghadirkan event-event budaya secara mandiri, hingga tenaga ahli untuk membantu pembangunan infrastruktur komunikasi melalui IT pembuatan website (yang sedang dalam proses pembangunan).
    – Bagi HAPSARI ini adalah upaya-upaya inovatif yang menghasilkan capaian dalam memutus rantai pemiskinan, ketika perempuan petani mampu memberdayakan dirinya sebagai subyek dalam pembangunan daerahnya.
Proses pemilihan kopi hasil panen di Puncak Suroloyo
Proses pemilihan kopi hasil panen di Puncak Suroloyo

Apa yang ingin dijelaskan dalam narasi singkat pengalaman HAPSARI di atas adalah; bahwa pengembangan usaha ekonomi lokal yang menjadi fokus pemerintah daerah saat ini harus menyandarkannya pada konsep pengembangan kewirausahaan lokal, pengembangan unit-unit usaha komunitas warga, kerja sama pemerintah lokal dengan pihak swasta dan lembaga-lembaga lainnya termasuk organisasi masyarakat sipil (perkumpulan, serikat, dll), dalam mengelola sumber-sumber yang potensial untuk mendorong aktivitas ekonomi.

Tantangannya adalah, komitmen pemerintah daerah untuk konsisten menjalankan prinsip pembangunan inklusif yang mengikutsertakan dan sekaligus memberi manfaat kepada seluruh masyarakat. Serta bagaimana mengawal, membimbing, dan menyebarluaskan gagasan tersebut kepada banyak perempuan petani lainnya di tengah keterbatasan dan ketidakberdayaannya. Termasuk keterbatasan HAPSARI untuk memiliki mobilitas kader yang tinggi dalam kondisi kuatnya budaya patriarkhi yang mengatur bagaimana “seharusnya” perempuan dan laki-laki menjalankan peran dan tanggungjawabnya dalam masyarakat bahkan dalam rumahnya sendiri. Mata rantai kemiskinan dan jender juga harus terus diretaskan dalam semangat “kerjasama dan kemitraan banyak pihak”.***

Komentar Via Facebook

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here