Oleh : Lely Zailani[1]
Saat ini, kota-kota di Indonesia mulai memasuki trend menjadi kota cerdas (smart city). Yaitu kota yang telah mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam tata kelola sehari-hari, dengan tujuan untuk mempertinggi efisiensi, memperbaiki pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan warga.
Ternyata, menjadi smart city harus dimulai dengan safe cities (kota aman) dan iklusif gender. Aman dan inklusif untuk siapa? untuk perempuan, anak perempuan dan penyandang disabilitas. Jika sebuah kota aman untuk perempuan, anak perempuan dan penyandang disabilitas, maka kota itu aman untuk semuanya. Sebab, kalau kita dapat menjawab kebutuhan yang paling rentan, maka kebutuhan kelompok lainnya akan terpenuhi.
Safe cities adalah program yang menggunakan pendekatan komprehensif, untuk meningkatkan askes yang aman bagi perempuan dan anak perempuan terhadap kota dan segala sumber daya yang ada di dalamnya, dimana mereka tidak merasa khawatir terhadap ancaman kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi.
Empat Pilar
Menurut Dr. Kalpana Viswanath, pendiri dan mantan ketua Organisasi Jagori, sebuah organisasi yang berbasis di India yang berfokus kepada isu pencegahan kekerasan terhadap perempuan, ada empat pilar yang harus dibangun untuk mengembangkan safe cities tersebut, yaitu; informasi dan data, perencanaan kota (yang responsive gender), kebijakan dan undang-undang, serta kesadaran semua pihak terkait isu kota aman dan inklusif.
Data dan Informasi : Berbagai isu yang dihadapi perempuan dan anak perempuan sangat penting diketahui. Sebab, konstruksi social dan gender telah menyebabkan perempuan memiliki kebutuhan khas dan spesifik yang menyebabkan kebutuhan mereka berbeda ketika di ruang public dan mengakses sarana public. Perempuan melakukan aktifitas rutin mengantar anak sekolah setiap pagi lalu berbelanja ke pasar, misalnya. Oleh karena itu, perempuan membutuhkan lebih banyak pilihan transportasi dengan lebih banyak rute antara sekolah dan pasar, bukan hanya antara sekolah dan kantor atau kampus.
Data dan informasi lain yang dibutuhkan adalah terkait dengan faktor-faktor yang dapat mengarah kepada meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di ruang publik. Ketika fasilitas public yang tersedia justru menjadi tempat yang rawan kejahatan bagi perempuan, misalnya; terminal, angkutan umum, jembatan penyeberangan orang, tempat penyeberangan untuk pejalan kaki (zebra cross), taman kota, trotoar, bangunan kosong, jalan-jalan tanpa penerangan dan lain sebagainya.
Data dan informasi berisi penjelasan bagaimana kondisi fasilitas umum tersebut dan diperlukan untuk pengembangan pengetahuan dan mengumpulkan pendapat serta pemikiran dari pemangku kepentingan terkait, termasuk perempuan dan anak perempuan sendiri tentang seperti apakah kota yang aman bagi mereka.
Perencanaan Kota yang Responsif Gender : Ini adalah pilar pengembangan perencanaan dan anggaran tata kota yang responsif gender serta program untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Tentang bagaimana perencanaan pembangunan kota mengintegrasikan kebutuhan, permasalahan dan pengalaman yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Pembangunan fasilitas umum yang tidak ramah dan tidak aman pada perempuan, membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan tanpa mampu melindungi diri.
Kejahatan terhadap perempuan tidak memilih tempat, maka membatasi perempuan keluar rumah bukan jawaban. Bahkan rumah pun tidak selalu menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Perencanaan kota yang responsif gender bertujuan untuk memastikan bahwa di sudut kota mana pun perempuan berada, dia aman dan selamat.
Bagaimana perempuan yang ke luar rumah untuk bekerja malam hari? Safe cities mendukung konsep pembangunan kota dengan fasilitas public yang baik, aman, nyaman dan selamat bagi perempuan, anak perempuan dan difabel. Jalan-jalan memerlukan trotoar yang aman bagi pejalan kaki dan lampu yang cukup terang. Ini penting, karena gelap memungkinkan terjadinya kejahatan.
Pembangunan fasilitas umum Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) harus mendukung konsep safe cities dengan membuat tinggi anak tangga tidak lebih dari 15 cm, memiliki dua buah pegangan, menyediakan penyeberangan khusus untuk difabel juga memiliki lampu penerangan yang cukup.
Safe cities juga bicara tentang transportasi public yang tepat; aman untuk perempuan, anak perempuan dan difabel. Mungkin diperlukan halte yang transparan, agar jika perempuan dalam ancaman kekerasan terlihat oleh orang-orang di sekitar, juga nomor telpon yang dapat dihubungi untuk kasus darurat, informasi keamanan ketika naik taksi dengan sopir yang ugal-ugalan dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan wc (water closet) umum di terminal-terminal bis, kereta atau bandara dan tempat umum lainnya. Tidak cukup hanya menyediakan wc umum yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki, tetapi harus aman untuk perempuan. WC perempuan seharusnya tidak melewati wc laki-laki dengan pintu terbuka, dimana untuk menuju wc perempuan harus melewati para laki-laki yang sedang kencing berdiri.
Kebijakan dan UU yang merespon kekerasan seksual : Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Peremuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa dari 338.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2017, sebanyak 3.092 atau 22 persen adalah kasus-kasus kekerasan yang terjadi di ruang public (angkutan umum, taman kota, jalan raya dan tempat-tempat umum lainnya). Kekerasan seksual merupakan jumlah terbanyak dari kasus kekerasan terhadap perempuan di ruang public, yaitu sebesar 2.290 atau 74 persen. Itu artinya ruang public tidak aman bagi perempuan.
DPR RI perlu segera menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan RUU tentang, Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang lebih banyak memberikan manfaat bagi korban kekerasan seksual, dimana korban kekerasan seksual menjadi subjek hukum. RUU PKS mencakup pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum.
Meningkatkan kesadaran tentang inklusifitas dan gender di ruang publik : Perbaikan sistim keamanan transportasi umum memang harus dilakukan. Namun yang lebih mendasar adalah merubah cara pandang terhadap perempuan yang masih sarat dengan nilai-nilai budaya patriarki. Cara pandang patriarki membentuk streotype yang merendahkan perempuan dan menganggap perempuan sebagai objek seksual. Bahwa kekerasan seksual yang terjadi dianggap karena salah perempuan sendiri, pulang tengah malam, jalan sendirian di tempat sepi, dll.
Bahkan tindakan affirmative memisahkan kereta perempuan dengan laki-laki bukanlah solusi jangka panjang, mengingat kekerasan (kejahatan) terhadap perempuan seringkali berakar dan bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya patriarki, ia tidak mengenal tempat. Patriarki melahirkan norma-norma yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dan utama, sedangkan perempuan berada pada posisi subordinat, dianggap sebagai properti bagi laki-laki dan harus berada di rumah. Karenanya, begitu perempuan keluar rumah, ia memasuki belantara yang tidak aman. Dan jika terjadi kekerasan, itu dianggap kesalahan perempuan sendiri.
Oleh karena itu, masyarakat, pemerintah, para pengambil kebijakan dan penyedia layanan harus diedukasi terus-menerus untuk meningkatkan pengetahuan serta kesadaran tentang inklusi dan prinsip kesetaraan gender, untuk membuat kota menjadi lebih aman untuk perempuan, anak perempuan dan difabel.
Safe Cities dan SDG’s
Safe cities juga merupakan pendekatan untuk implementasi konsep pembangunan dari tujuan kesebelas (10 target) Sustainable Development Goal (SDG’s) yaitu menjadikan kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, berketahanan dan berkelanjutan yang penerapannya di Indonesai telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017. Jadi, kota yang aman untuk perempuan dan inklusif, mestinya tidak sekedar konsep, melainkan mandat yang harus segera diwujudkan.***
[1] Penulis adalah aktifis perempuan di HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia), peserta Pelatihan Safe Cities, UN Women