Beranda Tulisan

Mengakhiri Perseteruan Jenis Kelamin*

564
BERBAGI
*Oleh : Lely Zailani – Pendiri HAPSARI, saat ini menjadi Ketua Komisi Politik HAPSARI, sebuah badan non struktural yang mempunyai kewenangan merumuskan agenda-agenda strategis untuk Penguatan Politik Perempuan.
(Ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan mengikuti Konferensi Internasional Women for Peace taanggal 30 April – 1 Mei 2007 di Jakarta)
*

(Pengalaman Organisasi Perempuan Memelopori Budaya Damai)

Dalam masyarakat dimana HAPSARI bekerja di wilayah-wilayah kabupaten di propinsi Sumatera Utara, kata perdamaian selalu disandingkan secara berlawanan dengan kata “peperangan”. Dan, karena di wilayah-wilayah ini sedang tidak ada “peperangan” maka kata perdamaian tidak menjadi penting diperhatikan. Kalaupun ada peperangan karena adanya keinginan untuk memerdekakan diri sebagaimana terjadi di Aceh misalnya, masyarakat beranggapan bahwa pastilah masalah itu akan diatasi melalui operasi militer. Dari fakta ini, setidaknya ada dua hal yang harus digarisbawahi, pertama ; perdamaian dianggap terancam hanya jika ada perang dan, kedua, yang dianggap bertanggungjawab menjaga perdamaian hanyalah militer !

Selama ini paradigma tentang perdamaian telah terbangun sedemikian rupa, bahwa perdamaian hanya berhubungan dengan perang, kerusuhan, kekerasan fisik, senjata dan militer (konflik karena keinginan untuk merdeka). Padahal dalam kehidupan sehari-hari perdamaian nyaris terancam ketika kehidupan yang tenteram dan aman sudah tidak ada lagi. Ketika ketakutan, perasaan terancam dan kemarahan karena terus direndahkan, meledak menjadi sebuah kekuatan “perlawanan” tak terkendali. Fakta ini cukup menggelisahkan, dan segera mendapat ruang untuk dipresentasikan sehingga menjadi kegelisahan kita bersama (melalui momentum lokakarya dan konferensi internasional Women for Peace).

Tampaknya pemahaman tentang konfik komunal yang merupakan konflik berbasis etnis, agama dan budaya harus diperbincangkan lebih sering, untuk mendapat perhatian lebih serius. Dalam tulisan ini, HAPSARI ingin berbagi pengalaman lapangan bagaimana meredam konflik berbasis budaya dan membangun relasi sosial dengan damai, melalui pembangunan organisasi-organisasi perempuan.

1. Ketika Ada Pihak Yang Direndahkan

Sesungguhnya kita adalah generasi yang lahir dari sejarah kehidupan penuh konflik dan perendahan derajat antara salah satu kelompok di hadapan kelompok lainnya. Misalnya antara kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas, antara satu etnis tertentu dengan etnis lainnya, atau antara agama (keyakinan) tertentu dengan agama (keyakinan) lainnya dan tentu saja antara jenis kelamin perempuan dengan jenis kelamin laki-laki.

Dalam sejarah kehidupan manusia cukup banyak catatan tentang perlakuan merendahkan derajat perempuan yang muncul dalam berbagai bentuk pembelengguan atas kemerdekaan diri dan jiwa kaum perempuan. Sejarah pembelengguan perempuan itu sendiri sama tuanya dengan sejarah perbudakan dan perlawanan terhadap perbudakan di dunia, seperti yang ditulis oleh Nawal Al-Sa`dawi : Upaya pembelengguan kaum perempuan dan budak serta penghancuran peradaban-peradaban kuno yang sangat menghargai perempuan telah berlangsung ribuan tahun silam. Hal ini terjadi karena adanya perlawanan kaum perempuan dan budak terhadap para penguasa yang menganut sistim patriarchal[1].. Setelah peperangan yang terjadi silih berganti, hancurlah nilai-nilai kemanusiaan yang bersandar pada pembedaan antar manusia menurut jenis kelamin, etnis, agama, dan idiologi. Sejak itu dunia menjadi milik penguasa Dewa Bapak, dan secara perlahan peradaban lama manusia menghilang, begitupula nama Dewi Ibu pun ikut menghilang[2].

Dalam perspektif dan kajian sejarah klasik peradaban manusia, menurut Nawal Al-Sa`dawi, konflik seputar hak-hak perempuan dan hak asasi manusia ini adalah kelanjutan dari perseteruan lama yang dimulai sejak munculnya sistim penghambaan terhadap laki-laki atau sistim patriarki. Dalam konteks ini cukuplah sejarah menjadi referensi dan urusan melakukan kajiannya ada pada wilayah historian. Karena fakta di depan mata kita menunjukkan bahwa perseteruan dan prasangka buruk terhadap salah satu jenis kelamin masih tetap ada.

Dalam relasi sosial politik, jelas bahwa perempuan adalah sekelompok masyarakat yang selama ini posisinya dipinggirkan. Teori sosial mengatakan ini diskriminasi gender. Banyak contoh bisa disebutkan untuk mendapatkan gambaran lebih jelas bagaima diskriminasi gender itu bekerja dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Mulai dari berbagai bentuk subordinasi, stereotipi, dominasi, diskriminasi hingga berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan, karena relasi gender yang tidak setara ini.

Stereotipi bahwa perempuan lemah-lembut, kurang menggunakan kemampuan pikiran, telah mendorong perempuan terpinggir dari posisi politik dan posisi pemimpin. Perempuan dianggap tidak cocok berpolitik, karena itu ”seperti laki-laki”. Berbagai upaya mendominasi atau mempengaruhi yang bertujuan untuk menundukkan, melemahkan, atau mempersempit ruang gerak perempuan, terutama ruang gerak dalam lingkup masyarakat masih sangat kuat. Dengan cara halus dominasi dalam bentuk tindakan, misalnya, sebagaimana banyak kelompok mengatakan ”mewakili rakyat” banyak pula yang selalu mengatakan ”mewakili perempuan” dan seolah-olah telah memenuhi kepentingan perempuan yang diwakilinya. Kaum perempuan sendiripun kalau diberi kesempatan untuk tampil, berbicara mengeluarkan pendapatnya atau diberi kesempatan memimpin, sering mengatakan ”sudahlah, diwakili saja”.

Diskriminasi dalam berbagai bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan terhadap penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan pokok dibidang sosial, politik, ekonomi, budaya yang seharusnya dimiliki oleh perempuan pun masih sering terjadi hingga saat ini. Sehingga jabatan-jabatan sebagai ketua dalam perkumpulan (organisasi) atau partai politik sering tidak diberikan kepada perempuan, bahkan pertemuan-pertemuan (rapat) jarang melibatkan dan memberikan kesempatan perempuan untuk berbicara.

Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik (terhadap tubuh) yang menyakiti, melukai, membuat cacat atau ketidak normalan pada bagian tubuh tertentu. Melainkan juga meliputi berbagai bentuk mulai dari kekerasan secara fisik, penelantaran, kekerasan ekonomi (istri yang tidak diberi nafkah) sampai kekerasan yang berdampak pada penderitaan psikologis atau kejiwaan (sakit hati), stress, ketakutan, dan sebagainya. Termasuk pula dalam hal ini kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, pemaksaan berhubungan seks (perkosaan). Jadi, kekerasan terhadap perempuan merujuk pada bentuk-bentuk kekerasan baik fisik maupun psikis. Berbagai bentuk kekerasan seperti itu sering dialamai oleh perempuan karena sejak awal perempuan memang dipandang lebih rendah martabatnya dibanding laki-laki.

Ini adalah sederet fakta tentang adanya satu kelompok yang derajat dan martabatnya direndahkan oleh kelompok lainnya dalam sebuah komunitas bernama masyarakat dan tentu saja negara, tentang ”suara yang sesungguhnya mayoritas” tetapi dibungkam, dan tentang stereotipi untuk pembenaran-pembenarannya. Tentu saja dapat ditambahkan dengan daftar panjang fakta-fakta lainnya.

Dari marginalisasi perempuan inilah potensi ”perlawanan” yang sesungguhnya membawa potensi konflik, baik antar jenis kelamin atau antar masyarakat, diredam dan dibangun menjadi sebuah potensi menebar perdamaian. Medianya adalah organisasi (serikat-serikat perempuan). Keyakinan yang dimiliki adalah ; bahwa martabat dan harga diri perempuan harus ditegakkan dan diperjuangkan oleh kaum perempuan sendiri, tidak ada hadiah !

2. Organisasi, Merajut Kesetaraan

2.1. Mulai Membicarakannya

Kesadaran tentang relasi sosial antar perempuan dan laki-laki yang tidak setara dan tidak berkeadilan telah menumbuhkan keberanian berjuang dari kalangan kaum perempuan. Kesadaran semakin menguat dan melahirkan tindakan perlawanan yang juga menguat, ketika pada satu titik tertentu kesadaran itu tumbuh secara kolektif, dan kesungguhan untuk melakukan perlawanan kolektif diikrarkan. Media perlawanan sebagai alat perjuangan bersama pun ditetapkan, yaitu ; organisasi.

Dari sini tumbuh perlawanan dalam bentuk “berani bicara” untuk “memecah kebisuan”. Hanya dengan membicarakan masalahnya, maka jalan keluar bisa dicari bersama. Setiap keberanian perempuan untuk bicara adalah prestasi yang harus dihargai. Perempuan harus menghargai kisah hidupnya karena itu adalah sejarah yang selama ini tidak pernah didengarkan, apalagi dihargai. Kegelisahan dan keberanian untuk berbicara menumbuhkan semangat berorganisasi yang luar biasa. Agar organisasi tidak menjadi media yang melahirkan perempuan-perempuan dengan kesadaran baru tetapi terpisah jauh dari realitas ketidak adilan yang ada di sekitarnya, maka dibangun dan disepakatilah nilai-nilai organisasi sebagai landasan berpijak bersama, serta memilih strategi yang tepat menuju arah perjuangan bersama (organisasi).

Ada empat nilai utama yang dianut HAPSARI yaitu : Kepedulian, Keadilan (untuk semua), Kesetaraan dan Persaudaraan. Penjelasan terhadap ke-empat nilai itu adalah :

  • Kepedulian, terkandung di dalamnya perhatian (empati/simpati), kerelaan-berkorban dan berpihak kepada perempuan,
  • Keadilan, terkandung di dalamnya kasih sayang dan tidak diskriminatif,
  • Kesetaraan, terkandung di dalamnya penghargaan terhadap diri perempuan dengan berbagai pengalaman, potensi, maupun kelemahan yang ada,
  • Persaudaraan, terkandung di dalamnya kasih sayang dan menghargai berbagai perbedaan.

Ke-empat nilai ini saling mempengaruhi dan memperkuat, tetapi “kepedulian” adalah titik penting bagi organisasi yang anggota dan pengurusnya adalah perempuan desa biasa, bukan dari kalangan aktivis ornop atau aktivis mahasiswa. Kepedulian menjadi yang utama sekaligus penegasan dan landasan bagi “etika kepedulian” (ethics of care). Tidak seperti kebutuhan dan keinginan yang bisa berubah seiring dengan perubahan waktu dan kenyataan sosial di sekelilingnya, nilai-nilai yang telah ditetapkan ini lebih langgeng sepanjang waktu. Nilai-nilai itu amat penting bagi HAPSARI karena harus menjadi dasar perpijak organisasi dan individu, juga memberikan warna yang sangat jelas bagi HAPSARI di dalam kiprahnya untuk melakukan peran sebagai wadah penggerak terjadinya perubahan sosial dilingkungan organisasi yang mengitarinya.

Dari penghayatan terhadap ke-empat nilai-nilai tersebut, maka budaya organisasipun dibangun bersama. Budaya organisasi adalah cerminan dari pola perilaku individu yang berkembang di organisasi. Pola perilaku individu sendiri akan mencerminkan nilai-nilai apa yang dijadikan prinsip dalam menjalankan semua kegiatan organisasi, menuju cita-cita yang ingin dicapai. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, maka perilaku setiap individu dalam organisasi (budaya organisasi) harus mencerminkan individu yang, antara lain ;

  • punya kepedulian terhadap berbagai persoalan masyarakat terutama persoalan perempuan,
  • tidak diskriminatif terhadap individu atau kelompok yang bukan satu organisasi,
  • tidak sombong dan menganggap orang lain lebih rendah derajatnya, meskipun secara struktur memang berbeda tingkatan,
  • selalu mempunyai rasa kasih sayang terhadap sesama perempuan (sesama rakyat) meskipun berbeda organisasi (kelompok), suku atau agama.

Fase berikutnya dari perjalanan organisasi HAPSARI adalah menata strategi agar memenangkan perjuangan. Fase ini mensyaratkan setiap individu telah “mampu bebas” dari berbagai bentuk pembelengguan atas kemerdekaan diri dan jiwanya sebagai perempuan, sehingga mampu menyebarkan keyakinan dan melakukan pembebasan terhadap orang lain. Organisasi mendidik anggotanya untuk tidak hidup dalam prasangka-prasangka negatif terhadap kelompok lain yang berbeda haluan politik, berbeda agama, etnis dan budayanya. Karena pada prinsip “persaudaraan” terkandung di dalamnya kasih sayang dan menghargai perbedaan. Dari sini dikembangkan semboyan “persaudaraan sesama perempuan”[3].

2.2. Mulai Menebar Perdamaian

Karena apa yang dilakukan oleh kaum perempuan ini merupakan sebuah tindakan “di luar kepantasan” sebagaimana stereotipi gender menempatkan perempuan, tentulah berbagai penolakan bahkan “serangan” harus diterima oleh pengurus dan anggota organisasi HAPSARI. Tak jarang serangan-serangan model orde baru berupa pemberian label baru disebut “seperti Gerwani” dan ancaman akan “dihabisi” karena dituduh menyebarkan “komunisme” diterima oleh mereka.

Tetapi organisasi telah mengajarkan bahwa wilayah perjuangan organisasi adalah politik, maka kader-kader organisasi harus mempersiapkan diri untuk bekerja secara politis pula. Sekali kesadaran membangun kesetaraan dan keadilan berhasil ditanamkan, ia tidak bisa diambil kembali. Kesadaran itu akan tumbuh dan menguat menjadi nafas baru meneruskan perjuangan yang telah dimulai. Kesadaran yang akan ditanamkan adalah, bahwa selalu ada upaya untuk memecah belah rakyat, (perempuan dan laki-laki) dengan membangun kecurigaan, prasangka, ketakutan dan ketidak pedulian terhadap kondisi sosial politik yang terjadi saat ini. Selalu ada upaya yang sistimatis menjadikan rakyat dengan mental anak jajahan.

Reformasi telah memberikan momentum untuk membangun kekuatan organisasi perempuan sebagai media perjuangan secara terbuka. Maka secara terbuka pula HAPSARI menjelaskan posisi politiknya sebagai organisasi federasi yang menaungi serikat-serikat perempuan anggotanya. Perempuan, organisasi dan politik, adalah kosa kata yang sangat populer di desa-desa di wilayah kerja serikat-serikat perempuan anggota HAPSARI berada, juga di kalangan birokrasi dan politisi setempat, diikuti dengan penyebutan nama para perempuan desa yang memimpin serikat-serikat tersebut. Ini adalah salah satu indikator keberhasilan organisasi tumbuh sebagai sebuah institusi formal dan politis yang keberadaannya diakui dan suaranya kemudian di dengarkan.

Di hadapan pemerintah yang tidak membela kepentingan perempuan (malah membuat serangkaian kebijakan yang merugikan perempuan) anggota HAPSARI tampil sebagai sebuah institusi, bukan sebagai individu-individu yang “tidak berdaya”. Sehingga para birokrat melihatnya sebagai kelompok terdidik, mempunyai peraturan dan mempunyai pemimpin, sehingga tidak lagi disepelekan atau dianggap “hanya perempuan desa biasa”. Di hadapan para suami, mereka adalah perempuan-perempuan pemberani yang tidak sombong, yang tidak menempatkan para suami sebagai “sasaran balas dendam” melainkan “kawan seperjuangan” untuk membangun kesetaraan. Dari situasi ini, ketokohan (kepemimpinan perempuan) dari berbagai level mulai tumbuh dan berperan secara terbuka sebagai “penggerak perubahan sosial dalam masyarakat”.

Dari dinamika perkembangan organisasi yang demikian, maka berbagai stigma negatif tentang perempuan berorganisasi, bahkan penggunaan stigma politik masa lalu tentang Gerwani tidak lagi mempengaruhi organisasi untuk berhenti berjuang. Posisi inilah yang memberikan ruang sangat terbuka bagi organisasi perempuan untuk berkontribusi pada upaya menebar “perdamaian”. HAPSARI telah membuktikan bagaimana organisasi perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender tidak harus mengorbankan pihak-pihak yang selama ini menjadi pelaku ketidak adilan tersebut. Stigma bahwa perempuan itu lemah lembut dan tidak ambisius justru menjadi kekuatan sebagai “pembawa misi perdamaian”. Fungsi organisasi perempuan sebagai media untuk membawa agenda-agenda perubahan sosial dan kaderisasi kepemimpinan perempuan, juga menemukan ruang untuk melakukan praktek sosial melakukan produksi dan reproduksi nilai-nilai perdamaian.

Seperti resolusi 1325 bulan Oktober 2000 tentang komitmen dunia untuk tidak hanya melakukan penjagaan perdamaian (peace keeping) tetapi juga menegakkan “pemberdayaan perdamaian” (peace building), organisasi perempuan sudah memberikan kontribusinya dalam memelopori “budaya damai” dalam wilayah konflik komunal (laten) dengan rekonsiliasi melalui transformasi budaya untuk menghormati Hak-hak Azasi Manusia (laki-laki dan perempuan), menjadikan dunia ini setara, tanpa kesombongan gender, tanpa perseteruan jenis kelamin, tanpa militer.***

Lubuk Pakam, 09 Maret 2007

Daftar Bacaan :

  1. Merajut Bersama (Drfat hasil pemetaan organisasi perempuan HAPSARI 2006, belum dipublikasikan.)
  2. Perempuan, Agama dan Moralitas Antara Nalar Feminis & Islam Revivalis (Nawal Al-Sa`dawi – Hibah Rauf Izzat, Erlangga 2002 : 13)
  3. Kamus Kata-kata Serapan Dalam Bahasa Indonesia, JS Badudu 2003 : 267)

[1] = patriarkat, tata keluarga yang sangat mementingkan garis keturunan dari ayah (Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia JS Badudu 2003 : 267)
[2] Perempuan, Agama dan Moralitas Antara Nalar Feminis & Islam Revivalis (Nawal Al-Sa`dawi – Hibah Rauf Izzat, Erlangga 2002 : 13)
[3] Pernah ada pengalaman yang sangat mengharukan, ketika Serikat Perempuan Petani dan Nelayan (SPPN), salah satu anggota HAPSARI melakukan survey tentang Kondisi Pendidikan Perempuan di salah satu desa yang mayoritas penduduknya umat Kristiani. Kunjungan dilakukan tidak sebatas untuk survey, tetapi juga menjali “persaudaraan sesama perempuan”. Beberapa Ibu yang mengenali utusan serikat perempuan sebagai Muslim karena menggunakan Jilbab mengatakan ; “dalam sejarah hidup kami, baru kali ini dikunjungi orang Islam dan mau menjadi saudara,” Hingga saat ini, hubungan itu terus berlanjut dan mereka mendaftarkan  diri menjadi anggota serikat untuk menyambut “tali persaudaraan”.

Komentar Via Facebook

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here