Beranda Media Gerakan

Layanan Berbasis Komunitas (LBK)

2589
BERBAGI
Teater Perempuan HAPSARI dalam sosialisasi Kekerasan terhadap Perempuan

Latar Belakang

Pementasan Teater Perempuan dalam sosialisasi Kekerasan terhadap Perempuan, di LBK.

Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984. Konvensi ini menegaskan prinsip-prinsip hak asasi perempuan serta kewajiban negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Berangkat dari komitmen bahwa hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia (HAM), sejak 2014 HAPSARI memfokuskan advokasi pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, serta melalui serikat anggotanya di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Program ini lahir dari kenyataan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak—baik dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual—terus terjadi, dengan korban yang signifikan setiap tahunnya. Minimnya upaya penanganan dan pemulihan memperburuk kondisi korban, yang kerap disalahkan atas kekerasan yang mereka alami.

Data Kekerasan terhadap Perempuan

Menurut Komnas Perempuan, pada 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan. Jumlah ini meningkat menjadi 6.499 kasus pada 2015, 5.785 kasus pada 2016, dan melonjak drastis menjadi 348.446 kasus pada 2017 (baik yang dilaporkan maupun ditangani). Angka tersebut belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan.

Kekerasan berdampak luas, mulai dari trauma psikologis, gangguan kesehatan, hilangnya kemandirian ekonomi, hingga hambatan partisipasi sosial. Anak-anak korban kekerasan pun berisiko mengalami gangguan tumbuh kembang, kehilangan kepercayaan diri, dan kesulitan mengendalikan emosi. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan kewajiban semua pihak, termasuk negara, untuk melindungi anak dari kekerasan.

Kendala Penanganan Kekerasan

Pendampingan korban kekerasan sering terhambat oleh kurangnya dukungan lingkungan. Masyarakat kerap menyalahkan korban, enggan menjadi saksi, dan bahkan menolak membantu korban dalam proses hukum. Lembaga pendampingan juga menghadapi keterbatasan sumber daya dan keberlanjutan layanan. Dalam situasi ini, komunitas lokal memegang peranan penting untuk ambil bagian secara aktif dalam penanganan korban.

Konsep Layanan Berbasis Komunitas (LBK)

LBK adalah pendekatan yang menempatkan komunitas sebagai aktor utama dalam pendampingan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bukan sekadar program, LBK adalah sebuah gerakan yang diinisiasi masyarakat desa untuk mendampingi korban kekerasan sekaligus melakukan upaya pencegahan. Pengelolaan LBK melibatkan masyarakat, pemerintah desa, dan pihak-pihak lain yang relevan.

LBK berfokus pada kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang terjadi di komunitas. Disebut berbasis komunitas karena seluruh proses penanganan dilakukan secara kolektif dengan mengandalkan potensi dan kekuatan yang ada di masyarakat. Komunitas yang dimaksud bisa berbasis wilayah (desa/kelurahan) maupun kelompok sosial (misalnya Serikat Perempuan anggota HAPSARI, kelompok pengajian, arisan, dll.).

Membangun Komunitas yang Mendukung Korban

Salah satu kegiatan rutin di LBK adalah Diskusi Komunitas.

Tujuan utama LBK adalah mendorong komunitas agar proaktif mendukung perempuan korban kekerasan dalam memperjuangkan hak-haknya atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Komunitas adalah pihak terdekat yang dapat memberikan pertolongan pertama, terutama saat korban menghadapi ancaman langsung terhadap keselamatannya.

Dukungan komunitas sangat berpengaruh terhadap keputusan korban untuk melapor dan proses pemulihannya. Komunitas yang menyalahkan korban cenderung membuat korban takut melapor. Sebaliknya, komunitas yang responsif akan mendorong korban untuk mencari keadilan. LBK berperan sebagai mekanisme pemulihan alami yang memperkuat korban melalui solidaritas dan dukungan sosial, sekaligus mempercepat penyelesaian kasus.

Keberlanjutan LBK

LBK memiliki potensi keberlanjutan yang lebih besar dibandingkan layanan yang hanya bergantung pada lembaga eksternal seperti LSM. Tentu diperlukan strategi berkelanjutan agar LBK dapat terus tumbuh sebagai pusat sumber daya untuk mendukung perempuan dan anak korban kekerasan.

Hingga 2017, HAPSARI telah mengembangkan dua LBK: di Desa Bingkat (Kecamatan Pegajahan, Serdang Bedagai) dan di Desa Denai Kuala (Kecamatan Pantai Labu, Deli Serdang). Pengalaman ini menjadi dasar untuk mereplikasi LBK di desa-desa lain ke depan.

Komentar Via Facebook

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here