Untuk Penanganan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan
Indonesia sudah meratifikasi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui UU RI No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Konvensi ini menjabarkan tentang prinsip-prinsip hak asasi perempuan, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.Berangkat dari pemahaman dan komitmen bahwa hak azasi perempuan adalah Hak Azasi Manusia (HAM), sejak tahun 2014, HAPSARI mulai focus melakukan Advokasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di wilayah kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, dan bersama Serikat anggotanya di kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Program ini dilatar belakangi oleh antara lain bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak (baik kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual) adalah sesuatu yang nyata ada dan terjadi terus, dengan jumlah korban yang cukup tinggi dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap perempuan terus berlangsungdan yang berujung pada sikap menyalahkan korban. Dan minim upaya penanganan maupun pemulihan diri dari dampak kekerasan yang mereka alami.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pada 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, meningkat pada 2015 sebanyak 6.499 kasus, tahun 2016 tercatat sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 sebanyak 348.446 kasus (baik yang dilaporkan maupun yang ditangani). Artinya, jumlah itu belum termasuk kekerasan yang tidak dilaporkan dan tidak tertangani.
Dilandasi sikap peduli dan komitmen untuk terus bergerak mengakhiri berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, HAPSARI merancang berbagai pendekatan (strategi) dan kegiatan-kegiatan (tindakan) nyata, untuk menggerakkan dukungan terhadap upaya-upaya mengurangi tingginya angka kekerasan tersebut. Karena kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan rintangan dalam membangun martabat kemanusiaan bahkan berdampak terhadap keberhasilan pembangunan. Sebab tindak kekerasan dapat berdampak pada gangguan mental (rasa percaya diri), kesehatan, mengurangi otonomi diri (baik secara fisik, psikis, ekonomi, bahkan politik) yang menghambat kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat.
Korban kekerasan akan terus dalam ketakutan, trauma, serta gangguan psikologis (kejiwaan) yang tidak hanya berbahaya bagi dirinya, tetapi juga berbahaya bagi anak-anaknya (karena pengasuhan anak selalu dianggap sebagai tanggungjawab perempuan). Dan dampak ekonomi yang menyebabkan mereka menjadi miskin atau rentan miskin, karena kehilangan nafkah dari suami (pelaku kekerasan), atau kehilangan waktu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena sehari-hari waktunya terkuras untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan (kasusnya).
Demikian juga dengan anak, kekerasan terhadap anak berdampak negative pada proses tumbuh kembangnya kelak, bisa berkepanjangan ketika ia melanjutkan hidup sebagai orang dewasa. Mereka cenderung kurang percaya diri dan tidak percaya pada orang dewasa. Dan karena kesulitan untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, mereka akan mengalami gangguan dalam mengendalikan emosi. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memberikan kewajiban bagi semua pihak termasuk negara untuk melindunginya.
Sulitnya Mendapat Dukungan untuk Penanganan Korban Kekerasan
Seringkali, kerja-kerja pendampingan dan penanganan korban kekerasan (baik kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual) justru berhadapan dengan lingkungan masyarakat yang tidak mendukung. Ini sangat terasa, ketika masyarakat justru menyalahkan korban, tidak bersedia menjadi saksi, apalagi jika dibutuhkan bantuan misalnya mengantarkan korban kekerasan seksual untuk visum ke rumah sakit, menganggap tidak perlu mencampuri urusan rumah tangga orang lain, dan lain sebagainya. Sementara pihak pendamping dari lembaga masyarakat memiliki keterbatasan sumberdaya (waktu, tenaga, biaya) termasuk tenaga-tenaga trampil untuk dapat mendukung proses ketika korban memperjuangkan hak-haknya. Beberapa lembaga bahkan ada yang tidak mampu lagi memberikan layanan karena tidak memiliki dukungan yang berkelanjutan.
Dalam kondisi yang demikian, mau tidak mau, lingkungan masyarakat setempat (komunitas) harus mengambil tanggung jawab untuk turut mendukung upaya korban, dengan bertumpu pada potensi dan kekuatan yang ada di dalam komunitas itu sendiri. Oleh karenanya, layanan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan secara kolektif di tingkat masyarakat adalah sebuah pendekatan yang harus dikembangkan.
Untuk kebutuhan tersebut, maka dikembangkankan sebuah konsep dan pendekatan yang disebut Layanan Berbasis Komunitas (LBK). Tidak sekedar program, ini adalah layanan yang didorong agar ditumbuhkan (diinisiasi) oleh sekelompok masyarakat (komunitas) di desa, untuk memberikan pendampingan dan penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Layanan Berbasis Komunitas atau kemudian disebut LBK ini, tidak hanya memberikan layanan pendampingan dan penanganan kasus kekerasan, LBK juga cukup strategis untuk melakukan pencegahan. Pengelolaannya melibatkan masyarakat, pemerintahan desa dan sebisa mungkin bekerjasama dengan banyak pihak.
Jadi, LBK adalah konsep dan strategi (cara bekerja) dalam menyikapi berbagai persoalan kekerasan berbasis gender, berupa tindak kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan komunitas (masyarakat/warga) desa. Disebut ‘berbasis komunitas” karena penyikapan tersebut dilakukan bersama-sama anggota komunitas dengan mengandalkan potensi dan kekuatan yang ada di dalam komunitas.
Sedangkan komunitas yang dimaksud dapat berbasis wilayah, seperti desa atau kelurahan dan berbasis kelompok dengan latar belakang tertentu, misalnya kelompok organisasi komunitas (Serikat Perempuan anggota HAPSARI di tingkat Desa) kelompok Pengajian, atau kelompok Arisan, dan lain sebagainya.
Mendorong Tumbuhnya Komunitas (Banyak Pihak) yang Mendukung Korban
Tujuan utama pengembangan LBK adalah untuk mendorong keikutsertaan komunitas dalam mendukung perempuan korban kekerasan memperjuangkan hak-haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Komunitas adalah lingkungan yang paling dekat dengan korban yang dapat dengan segera memberikan pertolongan bagi korban setelah tindak kekerasan terjadi. Pertolongan ini sangat penting, karena bisa saja kekerasan yang terjadi mengancam keselamatan jiwa korban secara langsung, misalnya ancaman pembunuhan. Pertolongan dari komunitas semakin penting, ketika korban berada di tempat yang jauh dari lembaga layanan yang dapat memberikan pendampingn secara intensif kepada korban.
Dukungan terhadap korban juga penting untuk membangun suasana hidup yang damai dan aman bagi semua. Dengan mendukung korban, komunitas menyatakan keberpihakan untuk memutus “kekebalan hukum” pelaku dan mencegah kekerasan serupa berulang di masa mendatang.
Melapor adalah langkah awal yang krusial untuk memperjuangkan keadilan bagi korban. Peran komunitas akan sangat mempengaruhi sikap korban dalam menyikapi dan mengambil keputusan. Komunitas yang sering menyalahkan korban atas kekerasan yang menimpanya, menyebabkan korban enggan melaporkan kasusnya karena hanya akan disalahkan dan mendapat kecaman. Sebaliknya, di lingkungan komunitas yang responsif pada persoalan kekerasan terhadap perempuan, korban akan cenderung melaporkan kasusnya karena dukungan yang ia miliki.
Demikian juga untuk pemulihan. Sikap komunitas sangat mempengaruhi proses pemulihan korban. Karena dalam kasus kekerasan berbasis gender seperti kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, korban tidak bisa serta merta pulih meskipun pelaku telah dihukum seberat-beratnya. Pandangan masyarakat yang menyudutkan korban, menyebut korban telah “ternoda” menjadi stigma yang sangat berat bagi perempuan korban kekerasan seksual, bahkan keluarganya. Apalagi kalau korban kemudian dikucilkan atau diusir akibat dari kekerasan yang menimpanya. LBK dikelola untuk tumbuh sebagai sebuah mekanisme pemulihan yang alamiah, karena dukungan dan solidaritas bagi korban memungkinkan ia lebih kuat. Selain itu, desakan dari komunitas akan membuka peluang penyelesaian kasus yang lebih cepat dan tuntas. Situasi ini sangat penting bagi proses pemulihan korban.
Akhirnya, LBK untuk perempuan dan anak korban kekerasan ini lebih memiliki potensi keberlanjutan yang lebih besar, disbanding layanan yang bertumpu pada dukungan pihak luar, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tentu saja dibutuhkan pembahasan lebih serius, untuk menemukan bagaimana strategi agar LBK dapat terus tumbuh dan berkembang, menjadi pusat sumberdaya dukungan untuk penanganan dan pemulihan bagi perempuan dan anak yang mengalami tindak kekerasan.
Pada sepanjang tahun 2017 ini, HAPSARI telah mengembangkan dua LBK, masing-masing di Desa Bingkat kecamatan Pegajahan Serdang bedagai, di Desa Denai Kuala, kecamatan Pantai Labu, Deli Serdang yang akan terus direplikasi ke desa-desa lainnya.***