Pengarusutamaan gender (PUG) adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian kebijakan serta program pembangunan nasional.
Sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender oleh Presiden Abdurahman Wahid, diikuti dengan berbagai kebijakan untuk melembagakan perspektif gender dalam perencanaan, implementasi, monitoring evaluasi dan penganggaran hingga ke tingkat daerah. Pengarusutamaan gender di Indonesia memang cukup maju dari segi kebijakan dan layak diapresiasi.
Namun, dalam situasi darurat bencana seperti pembentukan satgas percepatan penanganan virus corona di Indonesia, pengarusutamaan gender tampaknya diabaikan. Peraturan Kepala (Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No 13 tahun 2014 tentang pengarusutamaan gender dalam pembentukan satgas percepatan penanganan virus corona tidak menjadi rujukan hukum dalam pembentukan SK Satgas Percepatan Penanganan Covid 19 No. 18 tahun 2020. Padahal, Perka ini mengatur kewajiban untuk memperhatikan pengalaman perempuan dan anak perempuan pada saat bencana agar intervensi penanganan sesuai dengan kebutuhan mereka. Dan merupakan satu-satunya regulasi pemerintah yang tersedia saat ini.[1]
Banyak konsekuensi ketika pengarusutamaan gender tidak menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan, program dan anggaran penanggulangan Covid-19. Mulai dari minimnya representasi perempuan, diskriminasi, hingga risiko kekerasan terhadap perempuan. Lihatlah, hanya ada satu perempuan (Sri Mulyani, sebagai Pengarah) dalam Satgas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19, tidak ada nama menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Minim Representasi Perempuan
Minimnya representasi perempuan akan mempengaruhi kebijakan strategis yang diambil, karena tidak mempertimbangkan pengalaman-pengalaman dan kebutuhan spesifik perempuan. Tidak ada pemikiran yang lahir dari pengalaman hidup perempuan di sana.
Di satu sisi, ekspektasi terhadap peran perempuan untuk berkontribusi dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19 terus digaungkan, karena terbukti memiliki peran signifikan di garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Mulai dari posisi sebagai perawat medis yang jumlahnya sekitar 71 persen adalah perempuan dan hanya 29 persen laki-laki, membagi-bagikan masker kain untuk warga, memberikan penyuluhan kesehatan, hingga menyelenggarakan dapur umum untuk membantu warga lainnya yang sudah mulai kekurangan makanan.
Namun, tingginya partisipasi perempuan dalam mendukung penanganan Covid-19 tidak didukung dengan kebijakan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan yang memadai. Masih terjadi cerita-cerita pilu, bagaimana seorang perawat yang tidak mendapatkan fleksibilitas jam kerja untuk bertemu anak-anak mereka di rumah, jadwal pemberian ASI bagi perawat yang masih menyusui bayinya, hingga kebutuhan alat pelindung diri yang aman dan nyaman untuk perempuan, dan lain-lain. Termasuk jenis bantuan pangan yang didistribusikan ke rumah-rumah warga yang mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan dan tumbuh kembang anak, seperti susu bayi, makanan bernutrisi (sayur-mayur, ikan, vitamin) serta kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan, dan seterusnya.
Diskriminasi dan Resiko Kekerasan terhadap Perempuan
Seruan untuk melakukan pekerjaan dari rumah (Work from Home) serta diikuti dengan kebijakan belajar dari rumah (School from Home) menyebabkan perempuan menanggung multi beban. Tekanan sosial lebih kuat ditujukan kepada perempuan untuk menjalankan berbagai peran sebagai konsekuensi diberlakukannya kebijakan untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Perempuan diminta bertanggungjawab memastikan praktik physical distancing di rumah dan menjaga imunitas tubuh anggota keluarga melalui penyediaan makanan sehat dan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
Sayangnya, hal ini tidak diikuti dengan narasi-narasi edukatif mendorong praktik gotong-royong seluruh anggota keluarga untuk melakukan pekerjaan domestic. Akibatnya, perempuan mengalami diskriminasi gender dengan beban berlapis, rentan stress dan sakit karena kelelahan, serta kekurangan nutrisi karena harus mendahulukan anak-anak dan suami mereka.
Situasi ekonomi yang tidak menentu, hoax yang bertebaran di media, bantuan pemerintah yang penuh masalah dan kadang memancing “kemarahan” warga, semua menyebabkan kecemasan dan kepanikan pada masyarakat. Ini meningkatkan resiko kekerasan pada perempuan (dan anak) yang berdiam di rumah, sebagai pelampiasan anggota keluarga yang lebih “berkuasa”.
Data dari Lembaga Layanan, Komnas Perempuan dan SIMFONI (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak KPPPA per 2 Maret sampai 25 April 2020 ada 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dengan total korban sebanyak 277 orang. 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban sebanyak 407 anak. Kerentanan ini kurang disadari, tertutupi oleh narasi besar pandemic global Covid-19.
Respon Inklusif Penanganan Covid-19
Ada sejumlah masalah besar yang harus direspons secara serius oleh pemerintah terkait dampak Covid-19. Mulai dari aspek social, ekonomi, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, melalui antara lain kebijakan stimulus fiskal dan jaring pengaman sosial. Oleh karena itu, pengarusutamaan gender hendak memastikan bahwa (dengan atau tanpa representasi perempuan dalam kelembagaan penanganan Covid-19), intervensi yang diberikan pemerintah (dan pemangku kepentingan lainnya) dalam keadaan darurat harus tetap bersifat responsive dan inklusif, tidak mengabaikan kelompok-kelompok yang paling rentan terdampak, seperti perempuan, anak, lansia, difabel, dan lainnya.
Namun, tanpa representasi perempuan, sulit memastikan bahwa kebutuhan spesifik perempuan akan dipertimbangkan secara seksama, bahwa aspirasi dan kepentingan perempuan tidak hilang dalam daftar penerima distribusi bantuan selama pandemic berlangsung. Tanpa representasi perempuan, sulit memastikan bahwa intervensi penanganan bencana untuk melindungi hak dan kebutuhan perempuan dan laki-laki secara adil dan manusiawi dapat terpenuhi dalam narasi-narasi maskulin dan praktik yang diskriminatif gender, khususnya kepada perempuan.
Maka, maka pengarusutamaan gender juga penting memastikan bahwa representasi dan partisipasi perempuan dan kelompok-kelompok marginal lainnya dalam penanganan Covid-19 ini tidak diabaikan.***(Lely Zailani)
[1] Pada Bab V, Bagian Kesatu, Pasal 17 menekankan bahwa Tanggap darurat responsif gender dilaksanakan dengan a) melibatkan perempuan dan laki-laki secara aktif dalam menyusun rencana tanggap darurat. Lalu, b) memastikan adanya perwakilan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam tim kaji cepat. Selanjutnya, c) memprioritaskan kelompok rentan untuk menghindari kekerasan berbasis gender’.