Catatan Akhir Tahun HAPSARI Tahun 2018
Dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
MENDESAK DPR, SEGERA SAHKAN RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL !
1. Pengantar
Sejak tahun 2014, HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) bersama Forum Pengada Layanan (FPL) didukung Program MAMPU menyelenggarakan program Advokasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Ada serangkaian kegiatan dari program ini, diantaranya adalah Penanganan Kasus-kasus Kekerasan yang dialami oleh Perempuan dan Anak Perempuan, baik penanganan secara hukum (litigasi) maupun non litigasi.
Untuk merespon dengan cepat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di desa, selain adanya Pendamping dan Relawan, HAPSARI mendirikan Layanan Berbasis Komunitas (LBK). Ini adalah konsep penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diinisiasi oleh warga masyarakat sendiri, sehingga korban berani melapor dan meminta bantuan. Di setiap LBK ada Relawan yang telah dilatih melakukan pendampingan dan konseling korban, juga telah mengikuti Pelatihan Paralegal untuk membantu pendampingan hukum, sebelum korban mendapatkan pengacara. Saat ini, ada Empat (4) LBK di Dua (2) desa yang aktif melakukan pendampingan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan dari LBK inilah kasus-kasus tersebut kemudian dirujuk ke lembaga layanan, sesuai kebutuhan korban (mulai dari kepolisian, rumah sakit, atau Pengadilan Agama).
Dalam melakukan penanganan dan pendampingan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, HAPSARI juga bersinergi dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) terutama di kabupaten. Selain itu, HAPSARI juga membantu penguatan kapasitas kelembagaan P2TP2A dengan mendorong tersedianya mekanisme layanan yang terintegrasi dengan Sistim Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) untuk penanggulangan kemiskinan dan upaya ini cukup berhasil diimplementasikan di kabupaten Deli Serdang.
2. Tentang Catatan Akhir Tahun HAPSARI
Ini adalah Catatan Akhir Tahun (CATAHU) HAPSARI tahun 2018 dalam melakukan penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam kurun waktu satu tahun. Catatan akhir tahun secara rutin kami tulis untuk disampaikan kepada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sebagai bagian dari koordinasi kerja berjejaring, sekaligus untuk diteruskan kepada para pihak di level pembuat kebijakan nasional.
CATAHU HAPSARI ini dimaksudkan untuk :
2.1. Memberikan gambaran kepada publik mengenai Data Kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang mendapat layanan dari HAPSARI sebagai lembaga pengada layanan, dalam waktu satu tahun (2018).
2.2. Menginformasikan bagaimana penanganan kasus dilakukan, bagaimana kapasitas kelembagaan HAPSARI serta pembelajaran yang diperoleh dari upaya penanganan kasus-kasus tersebut.
2.3. Memberikan gambaran dari Data Kasus Riil kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani oleh HAPSARI sepanjang tahun 2018, baik yang ditangani sendiri maupun yang ditangani bersama dengan lembaga layanan lainnya, termasuk lembaga penegak hukum.
Dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan HAPSARI lebih berperan pada penguatan baik terhadap korban, maupun komunitas. Penguatan dilakukan dengan pendampingan dan konseling, sekaligus memberikan informasi tentang hak-hak sebagai korban. Para Relawan HAPSARI melakukan kunjungan dan pertemuan rutin, sebagai bagian dari upaya menggalang dukungan bagi korban untuk mengetahui bahwa yang dialami korban adalah bagian dari kekerasan yang tidak seharusnya alami oleh perempuan dan anak.
Terkait dengan pelayanan medis, HAPSARI merujuk korban pada pelayan kesehatan terdekat dan RS Umum Daerah, untuk kebutuhan konseling lanjutan dengan psikolog, bekerjasama dengan P2TP2A dan untuk pendampingan hukum bekerjasama dengan lembaga mitra, seperti LBH APIK Medan.
3. Jumlah dan Jenis Kasus yang Ditangani
Sampai akhir tahun 2018 ini, HAPSARI telah menangani sebanyak 133 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di 2 kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai dan mayoritas terjadi di desa-desa. Dari 133 kasus tersebut, sebanyak 6,7% atau 9 kasus adalah kekerasan seksual dan korbannya adalah anak perempuan dari umur 5 sampai 14 tahun.
Dari jenis kasus, dari 133 kasus tersebut, sebanyak 90,2% atau 120 orang adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang berupa kekerasan fisik, istri mendapat pukulan dibagian pipi, badan dikarenakan istri minta uang belanja sehari-hari, anak yang menangis. Bentuk kekerasan psikis yang sering terjadi suami yang punya kebiasaan nongkrong diwarung, punya perempuan lain diluar rumah, pulang malam, membandingkan istrinya dengan perempuan lain, suami yang punya hobby berutang pada akhirnya istri yang membayar ini adalah bentuk kekerasan psikis, karena istri takut, tidak mau bertengkar akhirnya istri hanya diam dan mnerima prilaku suaminya. Tidak hanya sampai di dua bentuk itu saja kasus DKRT bentuk penelantaran rumah tangga salah satu contoh kasus yang dialami korban adalah suami berpamitan untuk pergi bekerja diluar kota, dengan alasan untuk memperbaiki ekonomi keluarga tetapi setelah 4 bulan bahkan ada yang hingga 3 tahun tidak pernah pulang dan tidak ada kabar, sehingga istri harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Selama ini kita selalu perpikir kasus kekerasan seksual didalam rumah tangga tidak mungkin terjadi, tetapi dalam penanganan kasus HAPSARi menemukan kasus kekerasan seksual dimana suami sering memukul, mendorong dan menjambak istri sebelum melakukan hubungan intim. Melihat kejadian tersebut kita tidak boleh mengatakan suami mempunyai kelainan dalam melakukan hubungan intim apapun sebabnya perempuan dalam hal ini sudah menjadi korban kekerasan seksual. Layanan pendampingan dan penanganan kasus yang dilakukan HAPSARI untuk KDRT sebanyak 9,8% atau 13 orang adalah kekerasan seksual, mulai dari pelecehan hingga perkosaan.
Dibanding tahun sebelumnya (2017), tren kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani oleh HAPSARI lebih banyak berupa:
(1) Penelantaran rumah tangga; dimana suami tidak bertanggungjawab menafkahi (tidak memberi uang belanja), suami berhutang dan istri yang harus membayar, selingkuh dan poligami,
(2) Kekerasan psikis; istri dicaci-maki, dibentak.
(3) Kekerasan fisik; ditendang, dipukul, didorong, ditampar.
Sedangkan kekerasan seksual lebih banyak terjadi pada anak-anak yang belum sekolah, masih SD, SMP dan pelakunya adalah orang terdekat korban (Bapak, kakek/uwak dan tetangga). Bentuk kekerasannya berupa:
(1) Perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual,
(2) Korban diiming-iming, dibujuk, hingga diancam,
(3) Perkosaan atau pemaksaan hubungan seksual divideokan dan disebarluaskan.
Sementara itu, dilihat dari tempat terjadinya kekerasan, selain di ranah domestik (rumah, kamar tidur), kekerasan juga terjadi di ranah publik (kebun, tempat sunyi atau jauh dari keramaian). Selain itu, kekerasan juga sesungguhnya terjadi di ranah negara, ketika kekerasan baik kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual terjadi di desa, sementara desa tidak membuat Peraturan dan tidak menyediakan anggaran untuk penanganan kasus dan di tingkat kabupaten belum ada kebijakan untuk perlindugan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Sumber data kasus ini berasal dari Database yang dikelola oleh Staf HAPSARI. Sementara kasus-kasus yang ditangani, bersumber dari kasus yang dilaporkan sendiri oleh korban maupun keluarganya dan kasus-kasus yang dijangkau oleh Tim HAPSARI, bekerjasama dengan jaringan.
Selain Tim Program, dalam melakukan penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, baik di kabupaten Deli Serdang maupun Serdang Bedagai, Tim HAPSARI dibantu oleh sedikitnya 20 orang Relawan yang sudah terlatih melakukan pendampingan kasus dan memberikan konseling untuk menguatkan korban dan keluarganya. Para Relawan juga sudah mendapat Pelatihan Paralegal, sehingga mampu mendampingi korban untuk menjalani proses-proses hukum hingga pengadilan agama, sebelum korban mendapatkan pengacara.
4. Dampak Kekerasan terhadap Korban
Dampak sangat serius dialami oleh anak-anak korban kekerasan seksual. Meraka sangat menghilangkan rasa trauma yang dialami. Dampak buruk bagi anak korban kekerasan seksual antara lain;
– Susah untuk bergaul dengan dilingkungannya, cenderung menjauhi tempat bermain di keramaian,
– Pemurung,
– Kurang memiliki rasa percaya kepada orang lain (takut)
– Terganggu tumbuh kembang anak ,
– Dll
Meskipun jumlah angka kekerasan seksual yang ditangani HAPSARI hanya sebesar 9,8% dari 133 kasus kekerasan yang ditangani, namun kekerasan sesksual adalah bentuk kekerasan yang sangat berat penanganannya. Berat, tidak hanya bagi korban, tapi juga bagi keluarga korban dan pendamping, apalagi pendamping dari komunitas.
Korban mengalami dampak psikis, trauma yang sangat berat. Korban mengalami berbagai tekanan, baik dari luar karena stigma buruk, bahkan pandangan mata menghina, hingga tekanan dari dalam dirinya sendiri karena mengalami gangguang pasikis. Terlebih jika korban hamil, terjadi gangguan hormonal yang menyebabkan ketidak seimbangan emosi korban. Singkat kata, perempuan dan anak korban kekerasan seksual mengalami perubahan hidup yang ekstrem dan cenderung tidak mendapat dukungan dari lingkungan, bahkan kadang tidak didukung keluarga karena dianggap aib. Itu mengapa korban kekerasan seksual rentan untuk melakukan bunuh diri. Tidak hanya korban, bahkan pendamping korban pun mengalami tekanan yang berat dan ancaman serius, hingga ancaman pembunuhan dari pelaku dan keluarga pelaku.
Sedangkan dari sisi pelaku tidak pernah terlihat mereka merasa apa yang dilakukan adalah salah dan tidak pantas dilakukan pada siapapun. Pelaku justru merasa hebat, terlebih jika mereka punya kedudukan atau mapan secara ekonomi. Bagi pelaku kekerasan seksual yang secara eonomi pas-pasan, mereka akan menyalahkan istrinya, kemudian beralasan mencari ketenangan diluar rumah.
Itulah mengapa Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dibutuhkan, baik oleh korban, keluarga korban, bahkan pelaku. Agar hak-hak korban dilindungi dan pelaku dihukum berat, untuk memberikan efek jera.
Lounching CATAHU HAPSARI ini dilakukan bersamaan dengan memperingati Hari Ibu ke-90, karena bagi HAPSARI, Hari Ibu adalah Hari Pergerakan Perempuan Indonesia. Bersama dengan organisasi jaringan yang ada yaitu Forum Pengada Layanan (FPL), AMAN Indonesia dan seluruh Serikat Perempuan Independen (SPI) anggota HAPSARI, kami ikut mendesakkan segera disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dan HAPSARI pun bersuara serupa. CATAHU ini cukup memperkuat argumen betapa pentingnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk mencegah timbulnya kekerasan seksual sekaligus melindungi yang telah menjadi korban.
Oleh karena itu, HAPSARI ingin menutup catatan ini dengan desakan :
#DPR, harus segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, karena sispapun dapat menjadi korban, siapapun dapat menjadi pelaku!
Medan, 24 Desember 2018
Sri Rahayu
No Kontak : 0823 6649 4252
Koordinator Program
Advokasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia)