Perubahan Iklim dan Akses Sumberdaya untuk Perempuan
Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri pada tahun 2030, atau 41% dengan bantuan internasional. Secara sukarela Indonesia melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pembangunan nasional dan sekaligus berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global dengan menerbitkan Perpres No.61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
Provinsi Sumatera Utara juga telah memiliki komitmen perubahan iklim melalui Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) 2010-2020, Instruksi Gubernur Sumatera Utara Nomor 188/54/05/INST/2012 tentang Adaptasi Iklim Ekstrem dan target penurunan emisi GRK yang ditetapkan melalui Pergub No. 36 tahun 2012. Namun, sebagian besar aksi perubahan iklim masih terpusat pada sektor kehutanan, belum menyentuh isu ketahanan pangan dan belum inklusif dengan model pengelolaan yang kolaboratif.
Analisis Konteks
Perubahan iklim telah berdampak terhadap hilangnya sumber-sumber kehidupan perempuan, seperti akses terhadap air bersih, akses terhadap lingkungan yang sehat (akibat pencemaran udara dan air), hingga akses terhadap sumberdaya alam milik bersama (common property). Perubahan iklim memberikan pengaruh berbeda kepada laki-laki dan perempuan terkait bencana yang ditimbulkannya. Perempuan lebih rentan terhadap kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan menurunnya derajat kesehatan. Karena dibanyak tempat, perempuanlah yang bertanggungjawab memenuhi kebutuhan air bersih dan makan untuk keluarganya. Sehingga bencana iklim semakin mempersulit akses perempuan terhadap berbagai sumber daya seperti air, sanitasi dan energi untuk memasak.
Studi yang dilakukan oleh London School of Economics (LSE) terhadap 141 negara yang terkena bencana pada periode 1981-2002 menemukan kaitan erat antara bencana alam dan status sosial ekonomi perempuan[1]. Ketika hak-hak perempuan tidak mendapatkan perlindungan, maka jumlah korban perempuan akan lebih besar dari laki-laki. Hasil studi Oxfam dan UN Office for Disaster Risk Reduction tahun 2005 menyebutkan sedikitnya 173.000 dari 180.000 korban meninggal pada gempa dan tsunami Aceh adalah perempuan[2].
Perubahan iklim akan menjadi pemicu krisis sosial ekologis yang luas dimana masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin lebih rentan dibanding yang berpenghasilan menengah atau kaya, terlebih kaum perempuan dan anak-anak. Bencana alam dan kelaparan merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang berakibat pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan memperbesar kesenjangan gender dalam masyarakat. Perempuan harus memikul tanggungjawab lebih berat dibanding laki-laki, sehingga meningkatkan angka kemiskinan perempuan dan semakin terbukanya jurang ketidaksetaraan gender.
Ketahanan Pangan sebagai Strategi Ketahanan Iklim
Membangun ketahanan pangan keluarga sebagai strategi ketahanan perubahan iklim merupakan inisiatif yang harus didukung. Ketahanan pangan yang dimaksud bukan hanya tentang beras, melainkan aneka ragam pangan berbasis sumberdaya lokal untuk memenuhi kecukupan pangan yang sehat dan bergizi. Mulai dari singkong/ubi, jagung, talas/keladi, pisang, sukun, dll. Dimana penganekaragaman dilakukan untuk mengatasi ancaman krisis pangan sekaligus menjadi gerakan internalisasi sensitive iklim dan pemberdayaan perempuan. Sebab semakin aman pangan, masyarakat (dan perempuan) semakin mandiri.
Ketahanan pangan harus bersinergi dengan ketahanan iklim. Sehingga program ini tidak hanya mengintervensi ancaman rawan pangan dengan penganekaragaman pangan non beras, tetapi juga gagasan melawan krisis iklim dan ketimpangan sosial dan gender dengan mendorong penyediaan ruang public yang dikelola komunitas secara kolaboratif, menumbuhkan ruang sosial yang aman, zona udara bersih, sumber pangan, hingga nutrisi dan obat-obatan untuk keluarga.
Narasi perempuan dalam ketahanan pangan dan ketahanan iklim merupakan intervensi untuk menjawab persoalan ketimpangan gender dan hak-hak masyarakat marginal lainnya, melalui serangkaian kerja-kerja kolaboratif dengan para pemangku kepentingan mulai tingkat desa, kabupaten, hingga propinsi. Perempuan akan didorong berpartisipasi, difasilitasi dan didengarkan suaranya, agar tidak terus terpinggirkan dari akses informasi dan sumberdaya (program dan anggaran) pembangunan yang ada. Dan semua itu akan dimulai dari halaman-halaman rumah perempuan, melalui program “Membangun Ketahanan Pangan Keluarga untuk Mengatasi Ketimpangan Akses Sumber Daya dan Strategi Ketahanan Perubahan Iklim di Sumatera Utara”.
[1] http://downtoearth-indonesia.org
[2] http://pojokiklim.menlhk.go.id