Abahku begitu panggilanku pada ayah, hanya seorang penarik becak dayung yang terkadang pulang membawa uang pas – pasan untuk makan kami sehari – hari dan mamakku cuma buruh di sawah milik orang lain, tapi mereka memiliki semangat yang kuat untuk menyekolahkan kami, hingga kami anak-anaknya minimal tamat SMA. Kalau kami ingin ke jenjang yang lebih tinggi, mereka tetap menyanggupi, walapun kami juga harus membantu.
Semua kakak dan abangku sekolah dengan fasilitas seadanya, naik sepeda, walaupun jarak antara sekolah dengan rumah sangat jauh. Tapi ketika giliranku sekolah, aku mendapat fasilitas yang lumayan lengkap karena terbantu dengan kakak dan abangku yang sudah bekerja. Ini membuat aku terlupa dengan kesederhanaan hidup yang ditanamkan orang tuaku sejak dulu.
Hari demi hari di sekolah kulewati begitu saja tanpa ada kemajuan untukku dan keluargaku, hingga pada saat akan melanjutkan ke perguruan tinggi,, aku tidak bisa mengusahakannya sendiri. Padahal, sudah menjadi kebiasaan kami, untuk urusan melanjutkan sekolah setelah SMA, harus diurus sendiri. Begitu dulu semua kakak dan abangku. Aku memang jadi tidak mandiri dibandingkan mereka. Aku tidak dapat melakukan apa-apa.
Sampai pada suatu hari, aku diperkenalkan oleh kakakku pada sebuah organisasi perempuan dimana ia juga menjadi salah satu pengurusnya. Aku diajak berkunjung ke kantornya dan mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi itu. Awalnya aku merasa aneh melihat mereka, membuat pertemuan dengan peserta dari kalangan kaum perempuan desa biasa. Tapi topik diskusinya macam-macam dan membahas kondisi kehidupan masyarakat miskin, terutama yang dialami oleh kaum perempuan. Mereka bicara soal tanggungjawab pemerintah atas kemiskinan dan penderitaan rakyat, juga bicara tentang bagaimana berjuang melawan penindasan. Lama-lama aku tertarik juga dan mulai diundang mengikuti kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, karena aku terus aktif diantara kegiatan mereka itu. Pendidikan yang pertama kuikuti adalah pendidikan fasilitator yang diselenggarakan oleh organisasi bernama HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia).
Agak aneh kurasakan, pada saat pertama kali mengikuti pendidikan, peserta lainnya yang menjadi temanku adalah ibu-ibu desa biasa, bahkan tidak tamat sekolah dasar dan aku tamat SMA. Tapi mereka sangat ramah dan baik kepadaku seperti kami sudak kenal cukup lama. Ini terasa berbeda dengan ibu- ibu lain di desaku. Begitulah, setiap kali HAPSARI mengadakan pendidikan, aku mulai menjadi peserta tetap yang mereka undang.
Ternyata pendidikan-pendidikan yang sering kuikuti ini membawa perubahan besar dalam hidupku. Aku merasakan tumbuhnya kesadaran baru dan merasa menjalani kehidupan yang baru. Aku mulai belajar membagi waktuku menyelesaikan pekerjaan di rumah dan mengikuti kegiatan di organisasi. Juga menyadarkanku pada satu kenyataan kehidupan kaum perempuan yang tertindas, dinomor duakan, disepelekan, tidak didengarkan suaranya, sehingga perempuan menjadi orang-orang yang terpinggirkan dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam keluarga, perempuan terjebak pada rutinitas menjadi “ibu rumah tangga”, tanpa mempunyai ruang lain untuk mengembangkan diri.
Banyak perempuan – perempuan yang memiliki pikiran dan perasaan yang ingin diungkapkan tetapi sebelum pendapatnya keluar, sudah ada suara lantang yang melarang perempuan untuk bicara. Hal ini sering dilakukan oleh orang tua laki – laki dan abangnya, dan yang lebih ironisnya ibu dan kakak perempuan mereka juga mendukung hal ini terjadi, hanya satu penyebab mengapa ini terjadi ? Budaya yang mengatakah bahwa perempuan harus tunduk kepada laki-laki. Hanya laki-lakilah yang punya kekuasaan karena mereka adalah kepala keluarga, untuk mengambil keputusan apa saja mengenai kehidupan. Bahkan kaum laki-laki diberi kesempatan untuk terbiasa menjadi pemimpin apa saja, tapi tidak dengan perempuan.
Awalnya hanya budaya yang mengatakan demikian. Tapi setelah itu, agama juga dikutip atau dijadikan dalih untuk membenarkan tindakan peminggiran terhadap perempuan. Banyak yang salah menafsirkan ayat-ayat yang terkandung dalam agama dan ini semakin memperkuat posisi laki – laki dan semakin meminggirkan perempuan. Banyak hal aneh sebenarnya yang dibentuk oleh pemahaman budaya atau cara berfikir kita, misalnya saja “anak yang lahir dari rahim perempuan, mengapa harus mengikuti garis keturunan dari ayah”
Ini hanya salah satu dari sekian banyak masalah yang di hadapi perempuan yang menyebabkan hilangnya kepemimpinan perempuan. Karena meskipun perempuan memiliki kemampuan untuk memimpin tetapi dengan adanya budaya yang demikian perempuan menjadi hanya bekerja di wilayah rumah tangga saja. Di rumah, perempuan dipaksa “diam” tidak boleh banyak menuntut, tidak boleh membantah apa yang ditetapkan sang kepala keluarga, dalam hal ini laki-laki.
Ini merupakan salah pembelajaran berharga yang kudapatpan dari organisasi. Tetapi sebenarnya masih banyak lagi pelajaran yang kudapatkan dan menjadikanku lebih jeli melihat masalah yang terjadi di lingkungan khususnya yang terjadi dan dialami oleh kaum perempuan. Aku sungguh beruntung, dengan usiaku yang masih relatif muda tapi aku sudah tau tentang pentingnya berorganisasi. Organisasi menjadi sekolah keduaku, setelah aku menamatkan SMA.***
(Pengalaman dari Kes, Tanjung Morawa)