FederasiHapsari: Momentum adalah “saat yang tepat”. Itulah dasarnya, mengapa, seperti juga kalangan aktivis dari organisasi pergerakan perempuan Indonesia, HAPSARI juga memanfaatkan peringatan Hari Perempuan Internasional sebagi momentum untuk melakukan sesuatu; bersuara.
Sebagai organisasi perempuan basis, peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) memang tidak terlalu dikenal dikalangan basis anggota HAPSARI. Paling hanya di kalangan pengurus saja. Perempuan basis lebih kenal hari Kartini dan Hari Ibu. Baru belakangan, setelah berorganisasi (menjadi anggota di serikat-serikat perempuan), hari-hari yang terasa khusus untuk perempuan mulai dikenal. Dan kini mulai memaknainya.
Di tengah gegap-gempitanya kalangan aktivis gerakan perempuan memperingati Hari Perempuan Internasional, tak kalah riuh suara sekelompok orang yang mengecam peringatan ini, karena dianggap “Budaya Barat”. Menarik, karena selalu ada pro dan kontra.
Menarik, karena ada banyak alasan untuk setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka terhadap peringatan Hari Perempuan Internasional ini. Salah satu diantaranya adalah bahwa terdapat peristiwa-peristiwa bersejarah yang melatar-belakanginya; perayaan ini memperingati kebakaran Pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 1911 yang mengakibatkan 140 orang perempuan kehilangan nyawanya. (Baca Wikipedia).
Yang meninggal itu perempuan, 140 nyawa. Kenapa menjadi alasan penting? Sama pentingnya seperti sebuah keluarga memperingati meninggalnya salah seorang anggota keluarga; mengirim doa-doa, hening, atau bahkan membuat ritual. Sama pentingnya dengan memperingati haul Bung Karno, Gus Dur, dan lain-lain. Mengingat sesuatu tentang perjuangan, perjuangan, pengorbanan dan tentang rasa kehilangan.
Menurut LBH Apik, ternyata Hari Perempuan Sedunia merupakan kisah perempuan biasa menoreh catatan sejarah; sebuah perjuangan berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti juga kaum laki-laki. Di masyarakat Yunani Kuno, Lysistrata menggalang gerakan perempuan mogok berhubungan seksual dengan pasangan (laki-laki) mereka untuk menuntuk dihentikannya peperangan; dalam Revolusi Prancis, perempuan Paris berunjuk rasa menuju Versailles sambil menyerukan “kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan” menuntut hak perempuan untuk ikut dalam pemilu.
Nah, inilah kisah dari “Barat” itu. Sebab sesuatu yang “dari Barat” selalu punya nilai kontradiktif, maka peringatan Hari Perempuan Internasional ini memang jadi menarik diperbincangkan. Dan karena ada semangat “kemanusiaan” di dalamnya, maka memperingati Hari Perempuan Internasional ini juga menjadi penting.
Itu sebabnya, meski dari kalangan organisasi perempuan basis, HAPSARI tak mau ketinggalan. Kami juga bersiap mengisi momentum ini, dengan mengambil tema : “Menciptakan Produk untuk Mengakhiri Kemiskinan Perempuan”. Kami dan Kita yang sepaham, akan bersuara bersama.***