Oleh : Lely Zailani
Saat ini, kalangan masyarakat sipil Indonesia dibuat kecewa dan marah dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020 di DPR RI.
Kabar ini jelas menyakitkan, di tengah maraknya kasus-kasus kekerasan seksual yang terus terjadi di Indonesia, dengan korban yang beragam; mulai dari perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan difabel. Peristiwanya pun terjadi dimana-mana, mulai dari rumah, lingkungan sekolah/kampus, lingkungan rumah ibadah, lingkungan kerja, bahkan di rumah aman milik pemerintah. Siapa saja bisa jadi pelaku, mulai dari orang tua, pacar, teman, guru/dosen, anggota keluarga, pimpinan/atasan, tokoh agama, hingga aparat pemerintah yang dibayar untuk memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Seperti kasus terbaru yang terjadi di Lampung Timur (Juli 2020), seorang anak perempuan (14 tahun) yang dititipkan orang tuanya di rumah aman milik pemerintah, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) justru menjadi korban perkosaan oleh DA, terduga yang justru adalah Ketua P2TP2A tersebut.
Jumlah kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia cenderung meningkat signifikan, dari waktu ke waktu. Secara nasional, Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang 2019 sebanyak 2.521 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah public dan 2.988 kasus terjadi di ranah privat. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga mencatat bahwa pada Januari hingga 19 Juni 2020 saja terjadi 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak baik perempuan maupun laki-laki.
Di level daerah angka kekerasan seksual juga tidak sedikit. Di Sumatera Utara, selama hampir sepuluh tahun sejak 2014 HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) bersama Forum Pengada Layanan (FPL) telah melakukan advokasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hingga 2020, lebih dari 500 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah ditangani, mulai dari Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT), penelantaran, pencabulan, pelecehan seksual, hingga perkosaan. Rata-rata 10 – 15 persen kasus yang ditangani adalah kekerasan seksual, baik terhadap perempuan, anak perempuan, maupun anak laki-laki dan difabel.
Menyerang Integritas Tubuh Perempuan
Pengalaman HAPSARI menunjukkan bahwa kekerasan seksual dengan berbagai bentuknya (pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, hingga perkosaan) adalah kasus yang paling berat dan paling sulit ditangani. Pertama; seksualitas adalah ranah yang penuh nilai dan tafsir masyarakat, kedua; kekerasan seksual merupakan kekerasan berbasis gender dengan kejahatan “menyerang” integritas tubuh perempuan, ketiga; merupakan wujud ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, karena dalam masyarakat patriarki laki-laki ditempatkan sebagai superordinat dan subjek (berkuasa), sedangkan perempuan adalah subordinat dan objek (dikuasai) dan tubuhnya menjadi objek seksual.
Ketika tubuh perempuan menjadi sasaran kekerasan seksual oleh laki-laki, selain dianggap “lumrah”, pun merupakan kesalahan perempuan sendiri karena “tak becus” menjaga tubuhnya. Tidak peduli apakah korban adalah perempuan rentan seperti penyandang disabilitas atau anak perempuan. Budaya menyalahkan korban masih sangat kuat di masyarakat, sehingga korban takut melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya.
Tak Pernah Benar-benar Adil Bagi Korban
Berbagai upaya penanganan kekerasan seksual yang telah dilakukan, mulai dari pendampingan dan konseling korban, menyediakan rumah aman sementara, hingga laporan ke polisi yang berujung ke pengadilan, atau mediasi yang berakhir perdamaian, tak pernah benar-benar menyelesaikan permasalahan. Tidak pernah terjadi proses yang adil bagi korban.
Korban selalu mendapat stigma negative dari warga, (laki-laki dan perempuan), minim dukungan, bahkan tak jarang dari keluarganya sendiri. Di tengah penderitaannya, tidak mudah bagi korban mengkases layanan pendampingan psikologis, hingga layanan medis. Selain sulit mengakses korban dan keluarganya harus menanggung sendiri biaya pemeriksaan dan layanan medis (termasuk visum et revertum, surat keterangan pemeriksaan psikologis, atau visum et psikiatrikum) yang diperlukan dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.
Ketika melapor ke polisi dan menjalani proses penangan kasus, korban kesulitan mendapatkan informasi dan dokumen hasil penanganan (untuk) kasusnya sendiri. Bahkan seringkali mengalami kekerasan psikologis dari aparat penegak hukum dengan perilaku yang merendahkan atau justru menguatkan stigma negative korban. Bersamaan dengan itu, tidak jarang, korban juga masih menerima ancaman-ancaman dan kekerasan berulang dari pelaku dan pihak lain yang mendukung pelaku.
Lebih miris lagi, untuk memperjuangkan keadilan hukum bagi dirinya, korban seringkali terancam dikeluarkan dari sekolah, tidak lulus mata kuliah, kehilangan pekerjaan (diberhentikan), bahkan resiko adanya tuntutan pidana atau gugatan perdata atas peristiwa kekerasan seksual yang ia laporkan. Apalagi ketika korban tidak mendapat perlindungan atas kerahasiaan identitasnya dan beritanya terpublikasi dan viral di media. Korban dinilai “merusak nama baik” pelaku atau sekolah/kampus dan institusi tempatnya bekerja.
Ketika menempuh upaya terakhir lewat jalur hukum, sangat sulit bagi korban memperoleh keadilan hukum. Para ahli (hokum) mengatakan, itu karena Indonesia tidak memiliki landasan hukum yang secara spesifik dan komprehensif mengatur kekerasan seksual. Baik dari segi pendefenisian dan pemidanaan terhadap pelaku, pencegahan, penanganan, pelindungan, hingga pemulihan korban. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan misalnya, belum mengenal istilah kekerasan berbasis gender (gender-based violence), sehingga bentuk-bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan atau perbuatan cabul (hanya) dikategorikan sebagai kejahatan kesusilaan. Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga belum menjawab kompleksitas kekerasan seksual, termasuk pembuktian dan perlindungan berpersfektif korban.
Menambah Panjang Derita Korban
Ketersediaan payung hukum bagi korban kekerasan seksual sebenarnya merupakan bukti bahwa negara telah benar-benar memberikan jaminan rasa aman bagi warga negara agar menjalani kehidupan dan aktivitas sehari-hari dalam rasa aman dan terlindungi. Sayangnya, hal itu belum ada hingga saat ini. Satu-satunya harapan bagi korban kekerasan seksual dan keluarganya juga bagi para pendamping korban kekerasan seksual (saat ini), adalah segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Agar korban mendapat keadilan, pelaku dihukum setimpal dan adanya efek jera untuk mencegah keberulangan.
Sejak menjadi RUU inisiatif DPR pada 2017, baru dua tahun berikutnya (2019) RUU ini masuk dalam proses pembahasan Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII RUU PKS dengan pemerintah. Hasilnya, hingga berakhirnya masa kerja Komisi VIII DPR RI pada 2019, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual gagal disahkan. RUU ini kemudian dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2020 dan rupanya, bukan sebagai “carry-over”. Sehingga proses penyusunan RUU ini dimulai dari awal lagi.
Sialnya, DPR RI bukannya bekerja keras membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang nasibnya sudah menggantung sejak 2019, malah mengeluarkannya dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020. Sehingga menambah panjang derita korban kekerasan seksual.***
Medan, Juli 2020