Oleh : Lely Zailani
Ketua Dewan Pengurus HAPSARI
Setelah agenda desentralisasi dan demokratisasi dibingkai dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang dihasilkan oleh tuntutan reformasi, kini Desa mengalami “kebangkitan” dengan lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014.
UU Desa telah menjadi catatan bersejarah dalam agenda percepatan pembangunan nasional, sekaligus menjadi landasan hukum menciptakan momentum membangun gerakan pembaharuan dan pembangunan di desa. Dalam UU Desa, partisipasi masyarakat dirumuskan melalui hak dan kewajiban masyarakat (Bab VI, Pasal 68). UU Desa mewajibkan masyarakat desa untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan desa dan musyawarah desa.
Partisipasi menjanjikan suatu proses yang bersifat kolaboratif dimana seluruh lapisan masyarakat (laki-laki dan perempuan) dapat merumuskan tujuan bersama (common goals), terlibat di dalam pengambilan keputusan kolektif dan menciptakan ruang bersama sebagai tempat mengekspresikan keinginan bersama. Partisipasi mengandung konten kesetaraan dimana setiap suara dalam pertemuan dinilai sebagai input warga negara tanpa melihat dari jenis kelaminnya.
Partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Ini menyangkut siapa saja yang terlibat dan bagaimana mereka terlibat. Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja (terutama kelompok-kelompok minoritas, perempuan, difabel, dan kelompok marginal lainnya yang selama ini diabaikan) untuk turut serta dalam proses-proses pembangunan.
Partisipasi, secara substanstif menempatkan tiga aspek penting yang menentukan kualitas demokrasi, yaitu suara (voice), akses, dan kontrol. Suara; ini adalah tentang hak dan ruang yang tersedia bagi setiap warga untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Akses; adalah tentang hak setiap warga mendapat peluang mempengaruhi perencanaan pembangunan desa dan menikmati sumberdaya yang tersedia, termasuk akses dalam pelayanan publik yang baik dan perlindungan sosial. Kontrol; adalah tentang kesempatan dan hak setiap warga untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, pelaksanaan kebijakan maupun keuangan pemerintah. Kontrol masyarakat terhadap elite lokal menjadi indikator penting berkembangnya partisipasi masyarakat yang mendorong elite-elite lokal itu untuk bertanggungjawab dan tanggap terhadap kepentingan warga.
Dengan demikian, partisipasi masyarakat menjadi kata kunci yang membingkai proses dan relasi kekuasaan dalam pembangunan desa (pengelolaan dan alokasi sumberdaya ekonomi). Jika desentralisasi disandarkan pada demokrasi, maka partisipasi merupakan “sandaran” demokrasi.
Problematik Menghadang Perempuan
Ketika partisipasi bukan hanya merupakan hak, tetapi sudah merupakan aksi demokratis itu sendiri, justru disinilah tantangan yang akan menghadang kaum perempuan. Karena partisipasi masyarakat yang terbentang dari proses pembuatan keputusan hingga evaluasi, selama ini hanya didominasi oleh elite-elite desa (pamong desa, BPD, pengurus RT maupun pemuka masyarakat) sedikit sekali melibatkan unsur-unsur lain seperti pemuda, kaum tani, buruh, dan (terutama) perempuan.
Forum-forum pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan pembangunan desa seperti; rencana strategis desa, program pembangunan dan APBDES, antara lain melalui forum RT, musyawarah dusun dan musyawarah desa seringkali mengabaikan kehadiran dan suara dari perempuan.
Partipasi dalam perumusan peraturan desa, misalnya; dari sisi proses, perempuan tidak mempunyai ruang (akses) yang memadai untuk mempengaruhi formulasi perdes. Dari sisi konteks, umumnya tidak untuk menampung aspirasi (suara) dan menjawab kebutuhan perempuan (melainkan untuk menjawab preferensi elite dan instruksi dari atas). Para elite desa (pemerintah desa dan BPD) seringkali menempuh jalan pintas langsung memformulasikan perdes yang kemudian disosialisasikan untuk memperoleh persetujuan dari masyarakat. Banyak Perdes disusun melalui prosedur administratif dan hanya “copy paste” Perdes dari Desa lain.
Partisipasi telah dimanipulasi dalam bentuk mobilisasi; sekadar keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala desa dan BPD. Dari sisi proses pembuatan kebijakan, keterlibatan perempuan sekedar menerima sosialisasi kebijakan desa yang dimobilisasi sebagai pernyataan dukungan, tidak ikut menentukan kebijakan desa sejak awal, apalagi melakukan kontrol terhadap implementasi kebijakan dan program-program pemerintah.
Tertutupnya ruang-ruang partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan yang sifatnya formal di wilayah publik adalah salah satu bentuk pemiskinan perempuan. Belum lagi adanya persoalan rendahnya kapasitas perempuan dan kontribusi perempuan dalam forum yang seharusnya lebih ditingkatkan, sehingga perempuan mampu merespon kebutuhan-kebutuhan strategis di dalam forum-forum yang strategis pula. Jelas, bahwa marginalisasi terhadap peran perempuan dalam pengambilan keputusan tidak boleh diabaikan.***