Mulai dari Patriarki
Selama ini, norma-norma atau keharusan yang disepakati (sistem nilai) serta cara berfikir (budaya) yang berkembang dalam masyarakat Indonesia telah menempatkan perempuan pada posisi sebagai kelompok lemah yang perlu diajari, dibimbing, dan “diamankan”. Semua itu menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak bisa dengan leluasa berperan di lingkungan masyarakat yang lebih luas (publik), melainkan harus tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi untuk urusan rumah tangganya karena dianggap begitulah seharusnya menjadi seorang seorang perempuan. Peran sebagai “penanggungjawab” urusan rumah tangga dan keluarga telah mempersempit ruang gerak perempuan untuk berada di luar rumah. Sistim ini terus langgeng dari generasi ke generasi sejak nenek-kakek kita, ibu-ayah, hingga kita sendiri menurunkannya kepada anak-anak kita.
Sistim nilai dan budaya ini disebut sistim patriaki, yaitu sebuah sistim yang muncul dari keyakinan yang menganggap jenis kelamin laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding jenis kelamin perempuan. Keyakinan seperti ini secara sadar atau tidak tumbuh dalam diri setiap orang (perempuan dan laki-laki) dan menjadi dasar berfikir yang melahirkan tindakan merendahkan penghormatan terhadap jenis kelamin perempuan, dan meninggikan penghormatan terhadap jenis kelamin laki-laki.
Sistim patriarki telah memberi perempuan dan laki-laki dengan dua (2) jenis kelamin, yaitu ; jenis kelamin biologis (yang datang dari Tuhan) dan jenis kelamin sosial, disebut jender (yang ditentukan oleh norma atau nilai-nilai dalam masyarakat). Pada jenis kelamin biologis perempuan ditandai dengan mempunyai vagina serta alat-alat untuk hamil, melahirkan dan menyusui sedangkan laki-laki mempunyai penis untuk membuahi sehingga perempuan bisa hamil. Peran ini tidak bisa dipertukarkan dan kita menyebutnya sebagai kodrat (ada karena kehendak Tuhan).
Sedangkan jenis kelamin sosial yang disebut jender itu mengatur bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki bertingkah-laku dan berperan dalam kehidupan masyarakat. Norma, nilai-nilai dan budaya masyarakat kita telah menentukan peran perempuan dan laki-laki secara terpisah pada dua wilayah yang saling berhadap-hadapan, jika tidak boleh disebut bertentangan, yaitu ; wilayah rumah tangga (domestik) untuk perempuan dan di luar rumah tangga misalnya di masyarakat, di pemerintahan atau dalam negara yang disebut wilayah publik, untuk laki-laki. Begitulah sejak lama sekali dunia perempuan dan dunia laki-laki ditempatkan berdasarkan gendernya. Pembagian peran perempuan dan laki-laki berdasarkan jenis kelamin sosisl (jender) ini muncul dikarenakan adanya keyakinan untuk lebih meninggikan derajat laki-laki dibanding derajat perempuan (patriarki).
Apa Masalahnya ?
Sistim patriarki telah menumbuhkan keyakinan dan cara berfikir yang melahirkan tindakan merendahkan penghormatan terhadap perempuan, sehingga akhirnya merendahkan martabat kemanusiaan kaum perempuan. Tetapi masyarakat (dan juga kaum perempuan sendiri) menganggap hal itu sebagai kewajaran. Karena dianggap wajar maka berbagai bentuk penindasan yang ketidak adilan terhadap perempuan itu berlangsung terus-menerus seperti tidak akan berubah.
Berbagai bentuk perendahan martabat perempuan dikarenakan keyakinan kita terhadap sistim patriarki tersebut dapat kita lihat dalam berbagai praktek kehidupan yang membagi-bagi peran dan memposisikan perempuan berdasarkan jendernya, antara lain ;
1. Perempuan dianggap bagian (sub-ordinat) dari laki-laki.
Selama ini selalu ada anggapan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki, bukan bagian dari diri perempuan sendiri. Hal ini dikarenakan masih kuatnya pandangan untuk lebih mengistimewakan laki-laki dibanding perempuan, adanya keyakinan terhadap nilai-nilai adat dan budaya di kalangan masyarakat tertentu yang mengganut sistim garis keturunan dari ayah, dan kadang-kadang karena adanya penafsiran yang salah terhadap terjemahan ayat-ayat dalam kitab suci diberbagai agama.
Pandangan yang menempatkan perempuan hanya sebagai bagian dari laki-laki tercermin dalam berbagai adat dan budaya masyarakat kita. Masyarakat Jawa misalnya, memposisikan perempuan hanya sebagai ”konco wingking” (teman belakang) atau ”swarga nurut-neroko katut” (kalau suami ke surga, perempuan pasti diikutkan, kalau suami ke neraka, maka istri akan terikutkan juga). Akibatnya, tanpa ada ”persetujuan” atau ”izin” dari suami, perempuan tidak bisa dengan mudah melakukan kegiatan baik di rumah maupun di luar rumah. Kalau seorang istri mempunyai banyak kegiatan di luar rumah dan suaminya memberi izin dengan suka-rela, maka suami seperti itu sering disebut ”berada di bawah bendera istri”. Tudingan seperti ini diikuti dengan memberikan cap ”bukan istri yang baik” kepada si perempuan.
2. Banyaknya anggapan-anggapan umum atau prasangka-prasangka negatif (stereotip) yang merugikan perempuan misalnya ;
a) Anggapan bahwa urusan perempuan hanyalah urusan rumah tangga (keluarga) saja. Anggapan seperti ini menyebabkan adanya ”pembatasan kesempatan” bagi perempuan yang ingin mempunyai kegiatan di luar rumah, misalnya berorganisasi atau kegiatan kemasyarakatan lainnya. Kalaupun diberi kesempatan mengikuti kegiatan di luar rumah, kaum perempuan sendiri tidak percaya diri dan ragu-ragu, karena takut dianggap berperilaku ”tidak wajar” atau ”tidak sebagaimana anggapan umum”.
b) Anggapan bahwa perempuan itu kurang menggunakan kemampuan pikiran, hanya mengandalkan perasaannya dan kurang tegas. Oleh karena itu perempuan dianggap tidak cocok menjadi pemimpin, karena pemimpin harus tegas ”seperti laki-laki”. Kalau ada perempuan yang menjadi pemimpin dan tegas, ia disebut seperti laki-laki dan sebaliknya kalau ada laki-laki yang menjadi pemimpin tapi kurang tegas, ia disebut seperti perempuan.
c) Anggapan bahwa perempuan itu lemah lembut, makanya tidak cocok berpolitik karena politik dianggap sebagai dunia yang keras. Kalau perempuan berpolitik, menjadi anggota atau menjadi pemimpin partai politik maka dia diberi label ”seperti laki-laki”. Sebaliknya, jika laki-laki enggan berpolitik disebut ”seperti perempuan”. Dalam program pemerintahan pun dapat kita lihat bagaimana perempuan diposisikan pada program-program ”kerumah tanggaan” misalnya di dalam PKK.
d) Dan masih banyak lagi anggapan umum yang menjadi ciri (identitas) atau label yang dilekatkan kepada perempuan secara meluas dan terus-menerus sehingga berakibat melemahkan, meminggirkan atau mengabaikan posisi perempuan.
3. Perempuan menanggung beban ganda.
Karena adanya berbagai anggapan umum dan prasangka negatif (stereotip) terhadap perempuan tersebut, maka perempuan seringkali harus menanggung beban lebih banyak (beban ganda) jika dibandingkan dengan laki-laki. Kalau perempuan harus melakukan kegiatan di luar rumah ; misalnya ke sawah, ke kebun, ke ladang atau ke hutan, maka semua pekerjaan di rumah harus menjadi tanggungjawab perempuan (anak perempuan) meskipun di rumah ada laki-laki (suami atau anak). Apalagi kalau perempuan harus ke luar rumah karena mengikuti kegiatan organisasi. Biasanya akan diperingatkan : ”boleh saja perempuan berkegiatan di luar rumah, asalkan jangan melupakan kodratnya sebagai ibu”. Dan kalau karena mengikuti kegiatan organisasi ada pekerjaan di rumah yang terbengkalai, anaknya jatuh sakit, tidak membayar uang sekolah, dan sebagainya, sudah dapat dipastikan perempuanlah yang akan disalahkan dengan tudingan sebagai ”istri atau ibu yang tidak bertanggungjawab” kepada keluarganya.
4. Kuatnya dominasi (pengaruh) laki-laki terhadap perempan.
Dalam kehidupan sehari-hari upaya mendominasi atau mempengaruhi yang bertujuan untuk menundukkan, melemahkan, atau mempersempit ruang gerak perempuan, terutama ruang gerak dalam lingkup masyarakat masih sangat kuat. Dominasi ini sering datang dari laki-laki terhadap perempuan, maupun dari perempuan yang posisinya lebih kuat terhadap perempuan yang posisinya lebih lemah. Dengan cara halus dominasi dalam bentuk tindakan misalnya, banyak orang selalu mengatakan ”mewakili perempuan” dan seolah-olah telah memenuhi kepentingan perempuan yang diwakilinya. Kaum perempuan sendiripun kalau diberi kesempatan untuk tampil, berbicara mengeluarkan pendapatnya atau diberi kesempatan memimpin, sering mengatakan ”sudahlah, diwakili saja”.
Bentuk dominasi juga dapat dikenali dengan adanya pembuatan peraturan atau menciptakan sistim pemerintahan yang menyebut-nyebut atas nama kepentingan rakyat dan menganggap kepentingan perempuan sudah terwakili di sana, padahal belum tentu demikian. Akibat dari adanya dominasi seperti ini, perempuan sering kali ”terlupakan” karena sudah dianggap terwakili dan sering tidak diberi kesempatan ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
5. Adanya Diskriminasi terhadap perempuan.
Yaitu setiap bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan terhadap penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan pokok dibidang sosial, politik, ekonomi, budaya yang seharusnya dimiliki juga oleh perempuan. Contohnya, perempuan mengalami diskriminasi tidak mendapat jabatan ketua dalam perkumpulan (organisasi) atau partai politik, sebab masih ada laki-laki, tidak diundang dalam rapat-rapat desa, karena dianggap bukan urusan perempuan, atau kalaupun diundang rapat tidak ditanyai pendapatnya karena laki-laki sudah berbicara, tidak diterima melakukan kunjungan ke kantor camat apalagi kantor bupati, karena yang datang ibu-ibu dari desa atau perempuan biasa, dan sebagainya.
6. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Ini adalah bentuk serangan terhadap perempuan bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik (terhadap tubuh perempuan) yang menyakiti, melukai, membuat cacat atau ketidak normalan pada bagian tubuh tertentu. Kekerasan terhadap perempuan meliputi berbagai bentuk mulai dari kekerasan secara fisik, penelantaran, kekerasan ekonomi (istri yang tidak diberi nafkah) sampai kekerasan yang berdampak pada penderitaan psikologis atau kejiwaan (sakit hati), stress, ketakutan, dan sebagainya. Termasuk pula dalam hal ini kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, pemaksaan berhubungan seks (perkosaan). Jadi, kekerasan terhadap perempuan menunjuk pada bentuk-bentuk kekerasan baik pisik maupun psikis. Berbagai bentuk kekerasan seperti itu sering dialamai oleh perempuan karena sejak awal perempuan memang dipandang lebih rendah martabatnya dibanding laki-laki.
Perempuan dan Politik
Selama ini politik telah didefenisikan dan dianggap sebagai sesuatu yang ”negatif” ; tentang perebutan kekuasaan, kotor, penuh intrik, dunianya kaum laki-laki di luar rumah dan bukan urusan perempuan. Politik dihubungkan hanya dengan “kekuasaan” atau “mereka yang berkuasa”. Perempuan (sebagai kaum yang diperintah) karena sering tidak berdaya dan tidak bersuara dianggap tidak terlibat politik.
Sekarang kita harus membuat defenisi yang baru (dan benar) tentang politik. Karena politik adalah segala hal yang berhubungan dengan pengambilan keputusan, mengatur, merencanakan dan menggunakan segala sumberdaya untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Dan sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan politik adalah gagasan (ide), kemampuan (pengetahuan dan keterampilan), tekhnologi, uang dan orang.
Politik ada pada dua wilayah (lembaga) formal dan informal. Politik formal merujuk pada legislatif, eksekutif, partai politik, pemerintahan, sumberdaya dan kebijakan publik. Sedangkan politik informal merujuk pada apa yang berlangsung dalam wilayah masyarakat luas, keluarga, komunitas, lingkungan sekitar dan organisasi. Kaum perempuan dapat berpartisipasi di wilayah politik formal maupun politik informal.
Oleh karena itu, semua hal yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat (dan kehidupan perempuan) adalah politis (memiliki aspek politik), mulai dari ruang lingkup rumah tangga sampai ruang lingkup pemerintahan dan negara. Bagaimana perempuan mengambil keputusan untuk mengatur, merencanakan dan menggunakan sumberdaya yang ada dalam kehidupan rumah tangga agar kehidupan keluarganya menjadi sejahtera, semua itu adalah tindakan politis. Misalnya mengambil keputusan untuk ;
- apakah ingin mempunyai anak atau tidak,
- menentukan berapa jumlah anak yang diinginkan,
- bagaimana uang belanja dipergunakan,
- bagaimana biaya pendidikan anak dipenuhi,
- bagaimana kegiatan di luar rumah diikuti, dll
Persepsi (pendapat) bahwa politik hanya milik kalangan pemegang kekuasaan formal (dan milik laki-laki) telah mengakibatkan terjadinya proses peminggiran terhadap perempuan. Ini membuat perempuan merasa tidak percaya diri, merasa tidak layak dan tidak mempunyai kemampuan untuk ikut melakukan perubahan dalam proses-proses politik formal.
Di luar wilayah politik formal misalnya di dalam keluarga, karena adanya peminggiran terhadap perempuan maka proses-proses pengambilan keputusan sering tidak mendengarkan pendapat perempan atau anak perempuan. Para istri diharuskan untuk mengikuti saja apa kata suami. Begitu juga ketika perempuan ingin melakukan kegiatan di luar rumah, diskriminasi dan kontrol sering diberlakukan kepada perempuan sehingga membatasi keterlibatannya dalam kegiatan kemasyarakatan.
Sekarang mari kita luruskan lagi pengertian tentang politik.
- Apa itu Politik ?
Politik adalah pembuatan keputusan, mengatur dan merencanakan penggunaan sumberdaya. Dan sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan politik adalah gagasan (ide-ide/pemikiran), kemampuan (pengetahuan dan keterampilan), tekhnologi, uang dan orang.
- Dimana Proses Politik Berlangsung ?
Politik berlangsung pada semua tingkatan (level) lembaga (institusi), termasuk dalam level keluarga, masyarakat, pemerintahan dan dewan perwakilan rakyat, organisasi (serikat/perkumpulan) atau pertai politik.
- Bagaimana Politik Berlangsung ?
Politik merupakan proses berunding (negosiasi) yang terus berlanjut antar individu atau antar kelompok dan kepentingan yang berbeda. Untuk mengambil sebuah keputusan diantara beberapa kepentingan yang berbeda, maka individu atau kelompok harus mampu melakukan perundingan agar dapat mengambil keputusan yang memuaskan setiap individu atau kelompok. Biasanya keputusan yang akan diambil diusahakan agar memuaskan kepentingan mayoritas individu atau kelompok. Begitulah contoh bagaimana sebuah proses politik berlangsung.
- Apa yang Kita Perlukan untuk Menjadi Politis ?
Yang kita perlukan antara lain ; kemampuan dan pengetahuan tentang tata cara (prosedur) pembuatan peraturan (kebijakan) dan pemahaman atas kekuatan diri kita sendiri, serta bagaimana cara menggunakan kekuatan yang kita miliki itu.
Lalu, Apa yang Kita Perlukan Sekarang ?
Agar kaum perempuan dapat turut serta dalam proses-proses pengambilan keputusan (berpolitik) baik dalam wilayah formal maupun informal, maka kaum perempuan harus ; punya cita-cita agar terjadi perubahan untuk masa depan yang lebih baik bagi kehidupan ini terutama bagi perempuan. Mungkin tidak sekarang, tidak untuk kita, melainkan untuk saudara perempuan, anak perempuan dan cucu perempuan kita kelak.
Cita-cita ini hanya akan tercapai apabila ada perubahan cara berfikir dan keyakinan bahwa ;
- martabat kemanusiaan kaum perempuan sama tingginya dan sama terhormatnya dengan martabat kemanusiaan laki-laki.
- perjuangan untuk mengakhiri berbagai bentuk perendahan martabat kemanusiaan kaum perempuan harus dilakukan terus-menerus, terpimpin, terutama oleh kaum perempuan sendiri dan menjadi bagian dari perjuangan bersama (perempuan dan laki-laki) untuk keadilan sosial.
- tegaknya martabat dan kemanusiaan perempuan akan menjadikan kita sebagai masyarakat dan bangsa yang bermartabat pula.
Arah yang hendak dituju dari cita-cita dan keyakinan ini adalah terciptanya kondisi kehidupan yang lebih baik bagi perempuan (ibu, anak, dan saudara kita), yaitu kehidupan yang lebih berkemanusiaan, berkeadilan dan bermartabat. Sehingga kaum perempuan juga dapat menyumbang pada upaya-upaya politik untuk kepentingan kesejahteraan bersama.
Tetapi, sepanjang kaum perempuan masih ditempatkan hanya sebagai bagian dari laki-laki, masih berkembangnya anggapan-anggapan yang negatif tentang perempuan, masih kuatnya dominasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, maka perempuan akan terus tersisih dan merasa tidak mampu menyumbangkan kemampuannya membangun perubahan untuk masa depan yang lebih baik bagi kehidupan ini, terutama bagi kaum perempuan.***
Lubuk Pakam, 7 Mei 2007